Sunday, December 16, 2007

Tanah Papua


Jangan Memprovokasi Kekerasan Baru
Jumat, 17 Maret 2006


JAKARTA (Suara Karya): Supremasi otonomi khusus (otsus) di Papua harus tetap dikedepankan. Kebijakan pemerintah (pusat) yang menimbulkan persoalan di Papua harus ditangani dan ditanggulangi pula dengan ekstra hati-hati. Sebab, bukan tidak mungkin kerawanan kecil sekalipun bisa memicu konflik bersenjata berkepanjangan dan kekerasan baru.
Aktivis Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Jhonson Panjaitan, Hendri dan Gunawan mengutarakan hal itu kepada wartawan di Jakarta, kemarin. Khususnya dengan kaitan pro-kontra pemilihan kepala daerah (pilkada) di Provinsi Irian Jaya Barat (Irjabar), PBHI meminta semua pihak agar tidak memprovokasi sehingga timbul kekerasan baru di Irjabar atau Papua. Melainkan berusaha menciptakan situasi yang kondusif sehingga penyelesaian damai menjadi satu-satunya pilihan.

Dalam Otsus, kata Jhonson Panjaitan, pemekaran Papua atau Irian Jaya tercatat ada mekanismenya. Sayangnya, mekanisme tersebut tidak diindahkan dalam pemekaran Irjabar. Bahkan dalam pelaksanaan pilkada Irjabar itu sendiri aturan main yang terdapat dalam otsus tidak diindahkan.

Meski PBHI termasuk mendukung warga masyarakat yang kontra pemekaran dan Pilkada Irjabar, tutur Jhonson Panjaitan lebih lanjut, PBHI tidak akan menggugat hasil Pilkada atau berusaha menggagalkannya. PBHI tetap mendukung siapapun yang terpilih dalam pilkada Irjabar.

Hanya saja PBHI akan terus melakukan konsolidasi dengan tokoh-tokoh masyarakat, adat dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) lainnya agar otsus tetap menjadi acuan dalam setiap pengambilan kebijakan dan perkembangan pembangunan di Papua.

Pro-kontra yang terjadi dalam pemekaran dan Pilkada Irjabar, diharapkan Jhonson Panjaitan tidak menjadi embrio konflik permanen di Papua. Artinya, pendukung salah satu peserta pilkada yang gagal jangan sampai membuat intrik-intrik dan provokasi konflik. "Sekarang ini Papua termasuk sebagai wilayah yang dilanda konflik. Agar tidak semakin tersulut, maka setiap pro-kontra harus diselesaikan secara damai," ujar Jhonson Panjaitan.

Yorrys Th Raweyai, salah satu peserta pilkada di Provinsi Irjabar sebelumnya mengatakan ada kejanggalan-kejanggalan yang dilakukan KPUD di sana. Kertas suara yang dibawa ke TPS hanya disimpan dalam kantong plastik dan bukan dalam amplop tertutup yang disegel. Atas fakta itu, tim suksesnya tengah menyusun gugatan berdasarkan temuan-temuan di lapangan. Artinya, mereka akan menggugat berdasarkan kejanggalan-kejanggalan yang ada dalam pilkada.

Menanggapi hal itu, Ketua Panitia Pengawas Pemilihan Kepala Daerah Provinsi Irjabar Rudi Maturbongs mengatakan pihaknya tengah menentukan apakah temuan dan laporan termasuk dalam kategori pelanggaran atau tidak. Kalau terjadi pelanggaran, dibagi lagi apakah termasuk ke dalam pelanggaran administratif ataukah pidana. Namun panitia pengawas tidak berhak memberi sanksi atas pelanggaran yang terjadi. "Jika terbukti temuan dan laporan itu merupakan pelanggaran adminstratif maka akan diproses KPUD. Namun kalau pidana akan dilaporkan ke pihak kepolisian," demikian Rudi. (Wilmar P)
Copy Right ©2000 Suara Karya Online
Powered by Hanoman-i

Kapolri Diminta Tindak Anggota Polri yang Aniaya Terdakwa
SUARA PEMBARUAN DAILY

[JAKARTA] Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) mendesak Kapolri memerintahkan Kapolda Papua agar ratusan polisi yang mengawal sidang terdakwa kasus bentrokan Abepura di Pengadilan Negeri (PN) Jayapura, tidak menteror terdakwa dan kuasa hukum terdakwa. Dalam persidangan selama ini, sejumlah anggota polisi yang mengamankan persidangan, justru menteror dan memukul para terdakwa dan kuasa hukum terdakwa.

Demikian seruan PBHI yang disampaikan Ketua Badan Pengurus PBHI, Johnson Panjaitan, Staf Divisi Wilayah Konflik PBHI Irfan Fahmi dan Kadiv Kajian dan Kampanye PBHI, Gunawan di kantor PBHI Jakarta, Jumat (26/5).

PBHI meminta Ketua PN Jayapura, Kejaksaan Tinggi Jayapura, dan Kapolda Papua segera memindahkan penahanan para terdakwa dari Mapolda Papua ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) Abepura. Hal ini dilakukan karena keamanan dan kesehatan terdakwa di tahanan Mapolda Papua tidak terjamin, kata Johnson.

PBHI mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk tim independen pencari fakta atas peristiwa bentrokan Abepura 16 Maret 2006 dan seluruh proses penegakan hukum perkara tersebut.

Terdakwa kasus tersebut terdiri dari 16 orang, antara lain Othen Dapyak, Elkana Lokobal, Musa Asso, Moses Lokobal, Mon Jefri Obaja Pawika, Matias M Dimara, Selvius Bobii, Ferdinandus Pakage, Luis Gedi, Nelson Rumbiak, Elyas Tamaka, Markus dan Blesiur Mirin.
Johnson menjelaskan, pada 17 Mei 2006, 16 orang terdakwa tiba di PN Jayapura untuk mengikuti persidangan. Sebelum sidang dimulai, para terdakwa ditempatkan di ruang tunggu terdakwa yang terletak di bagian belakang gedung pengadilan.

Selama 1 jam menunggu sidang, para terdakwa dipukul anggota Polri (Brimob). Sejumlah anggota polisi itu memukul para terdakwa menggunakan rotan, popor senjata serta ditendang. Tidak berhenti sampai disitu, tindak kekerasan juga kembali dilakukan saat setelah para terdakwa usai mengikuti persidangan. Demikian pula saat mereka akan dinaikkan ke dalam kendaraan yang mengangkutnya kembali ke tempat penahanan.

Minta Dipindahkan

Dalam persidangan perkara atas nama terdakwa Selvius Bobii, terdakwa meminta kepada majelis hakim untuk dipindahkan penahanannya ke LP Abepura dengan alasan keselamatannya tidak terjamin bila masih ditahan di ruang tahanan Polda Papua. Namun hakim menolak dengan alasan polisi masih membutuhkan untuk mengungkap tersangka lain.

Pada 23 Mei 2006, sidang kasus 16 orang kembali digelar secara maraton dengan agenda pembacaan nota keberatan (eksepsi) para terdakwa. Dimulai dengan sidang berkas perkara atas nama Othen Dapyak Dkk (6 orang). Dalam persidangan ini salah satu terdakwa Mon Jepfri Obaja Pakiwa mengalami sakit, sehingga hakim pun menunda persidangan dan memerintahkan jaksa mengurus terdakwa yang sakit itu. Kemudian diketahui, Mon Jefri mengalami dehidrasi dan kekurangan gizi.

Suasana tegang terjadi dalam persidangan Selvius Bobii yang mengagendakan pemeriksaan saksi. Saat itu ruangan sidang diwarnai dengan ungkapan caci maki kepada Selvius Bobii yang dilontarkan sejumlah anggota polisi yang meramaikan sidang.

Sidang pun terganggu, ditambah lagi anggota polisi membuat gaduh suasana dengan berteriak sembari memukul-mukul pintu dengan menggunakan tongkat rotan yang dibawanya.
Teror dan intimidasi juga ditujukan kepada penasehat hukum. Saat sidang diskor, para penasehat hukum yang sedang berjalan ke luar gedung pengadilan untuk beristirahat, dilempari batu kerikil, disertai dengan ungkapan caci dan maki bahasa kotor.

Johnson mengatakan, tindakan kekerasan dan penganiayaan yang dilakukan anggota polisi terhadap para terdakwa yang sedang menunggu persidangan, nyata-nyata sebagai suatu tindak kriminal (pidana).

Untuk itu perlu dilakukan tindakan hukum kepada para pelakunya. Tindakan hukum tersebut bukan hanya penting bagi penegakan hukum, tetapi juga untuk menegakkan kewibawaan institusi Polri di hadapan publik yang telah tercoreng akibat perilaku anggotanya tersebut.

Dikatakan, dengan adanya tindak kekerasan dan penganiayaan yang dilakukan oleh aparat Polri terhadap para terdakwa di dalam gedung pengadilan, makin memperkuat dugaan, keberadaan para terdakwa dalam tahanan Polda Papua, mengalami tindakan yang lebih buruk lagi dari apa yang mereka alami di dalam gedung pengadilan.

Terhadap tindakan kekerasan yang dilakukan aparat Polri ini, majelis hakim dan pengadilan patut untuk dimintai pertanggungjawaban atas kejadian ini. Bukan hanya karena gagal dalam memberikan rasa aman dan kenyamanan bagi para terdakwa, tetapi juga gagal dalam menegakkan kewibawaan dan kehormatan pengadilan yang telah diinjak-injak oleh perilaku aparat Polri yang sudah dapat dikategorikan contempt of court.
[E-8]
Last modified: 27/5/06

ANTARA News
Nasional
16/03/07 20:53
PBHI: Tutup Segera PT Freeport

Jakarta (ANTARA News) - Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia
Indonesia (PBHI) menilai PT Freeport merupakan akar masalah yang ada di Papua,
sehingga harus segera ditutup.

Pernyataan BPHI tersebut terkait dengan peringatan bentrokan 16 Maret 2006 yang
terjadi di Unversitas Cenderawasih Jayapura, Papua.

Kepala Divisi Kajian dan Kampanye PBHI Gunawan di Jakarta, Jumat mengatakan
persoalan yang mendasar di Papua adalah eksploitasi sumber-sumber agraria yang
menghasilkan kerusakan lingkungan yang sangat parah.

Gunawan menilai sangat ironi, di tengah kekayaan sumber-sumber agrarianya yang
sanggup memperkaya segelintir orang di New York dan Jakarta, orang Papua
kelaparan dan kedinginan.

Kegelisahan orang Papua terhadap situasi tersebut, lanjut Gunawan, bagaikan api
dalam sekam yang sangat mudah menjadi ajang provokasi bagi tindakan kekerasan,
yang justru menjadi kontraproduktif bagi penyelesaian damai dan demokratis
persoalan Papua.

Imbas penting dari bentrokan tanggal 16 Maret 2006 adalah, diurungkannya rencana
Sidang Istimewa DPRP dan MRP dengan agenda pokok membahas menutup operasi
penambangan Freeport di Papua.

"Oleh karena itu, PBHI memandang diperlukannya kombinasi antara `agrarian
reform` dengan `security sector reform` khususnya di bidang `counter insurgency`
dalam rangka penyelesaian damai Papua," katanya.

Kasus bentrokan 16 Maret 2006 di Uncen itu, bermula dari insiden kekerasan di
Mile 72, ketika pada 21 Februari 2006, Tim Task Force Freeport yang terdiri dari
Brimob Polda Papua Detasemen B Timika dan satpam Freeport yang dipimpin AKP I
Ketut Surana bentrok dengan rakyat penambang tradisional.

Aksi massa yang disertai kekerasan pun terus terjadi, seperti pemblokiran dan
pengrusakan di Mile 72-74 Mimika Papua, pengrusakan Plaza 89 Jakarta 23 Februari
2006, pengrusakan Hotel Sheraton Timika Papua 12 Maret 2006, dan Bentrokan 16
Maret 2006 di Universitas Cenderawasih Jayapura Papua.

"Setelah berbagai insiden-insiden kekerasan tersebut, aparat maupun rakyat dan
para demonstran telah diadili, namun salah satu esensi dari akar permasalahan di
Tanah Papua, yaitu Freeport masih tegak kokoh berdiri, bahkan perlawananan atas
Freeport seakan mati," demikian Gunawan.(*)
Copyright © 2007 ANTARA

* Kamis**, 01 November 2007*
*Soal Penangkapan Aktivis Papua
Komnas HAM Minta Penjelasan Polri *

Jakarta - Penangkapan terhadap mantan relawan Elsham Papua, Iwangin Sabar Olif yang kini “mendekam” diperiksa di Mabes Polri (26/10) mendapatkan reaksi dari sejumlah LSM, antara lain Elsham Papua, Indonesia Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Imparsial dan LBH Jakarta. Sebaliknya, Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) mendesak agar Polri, bukan saja menuntaskan kasus tersebut, tapi juga menjelaskan alasan penangkapan dan penahanan Iwangin. Sabar telah ditangkap ber-dasarkan Pasal 160 KUHP atas tuduhan penghasutan, serta Pasal 134 KUHP atas tuduhan penghinaan negara.

Sabar sendiri dituding melakukan penyebarluasan layanan pesan sms dengan mem-forward sms yang berisi barisan kata-kata dengan penutup beratasnamakan “Maya IPDN Bandung”.

Atas hal ini, program manager IHCS Gunawan, seusai laporan ke Komnas HAM (31/10) dan bertemu dengan Komisioner Subkomisi Pemantauan dan Penyelidikan Nurkholis dan Wakil Ketua II Komnas Ridha Saleh, mengungkapkan bahwa kasus ini harus dijelaskan oleh kepolisian. Mereka mempertanyakan alasan membawa Iwangin ke Jakarta. Apalagi, disebutkan pula adanya keterlibatan Densus 88 dalam penangkapan itu.

“Polisi juga telah melakukan praktik diskriminasi hukum terhadap Sabar karena dia hanya mendapatkan sms. Ada nama lain yang meng-sms dia misalnya Marto Yuwei, atau yang mengetik nama di sms itu seperti Maya,” papar Gunawan.

Bagi Gunawan, kasus ini dapat menjadi ancaman serius bagi pembela HAM. “Kami juga meminta Sabar dikembalikan ke Papua karena pasal yang dipergunakan hanyalah penghasutan, yang tak perlu dibawa ke Mabes Polri, tapi cukup di Papua saja,” ujarnya.
Polri memang membawa Sabar dengan alasan ponsel yang bersangkutan bisa diteliti dengan alat yang lebih canggih sehingga bisa diperoleh informasi siapa aktor utama yang pertama kali mengedarkan sms itu.

Selain penangkapan Sabar dipandang sebagai wujud pelanggaran Polri terhadap hukum, LSM itu mengharapkan tindakan proaktif dari Komnas HAM karena ini merupakan ancaman serius bagi para pembela HAM. “Kami telah membentuk Tim Advokasi Pejuang HAM Papua yang merupakan koalisi pengacara HAM di Jakarta dan Papua,” ujarnya.

Nurkholis saat ditemui di Kantor Komnas HAM, mengatakan bahwa ada dugaan sementara soal diskriminasi dari Densus 88 terhadap Sabar. “Diskriminasi karena sms yang disebarkan oleh Sabar bukan satu-satunya dan Sabar bukan orang pertama. Sebelum itu, banyak sms yang sama yang juga diduga bukan hanya beredar di Papua, tapi juga di Jakarta,” ujarnya.
Menurut Nurkholis, kalau ini fakta hukumnya, mengapa tidak diusut juga sms yang beredar sebelumnya maupun yang setelahnya. Nurkholis mendesak agar kasus ini segera dikembalikan ke Papua karena dengan melimpahkan kasus ini ke Mabes Polri justru menambah kasus ini makin ruwet karena menjadi isu besar. “Menurut saya, kenapa bukan handphone-nya saja yang dibawa ke sini (Jakarta-red),” katanya. (sihar ramses simatupang)
*Copyright © Sinar Harapan 2003

Polisi Perlu Beri Penjelasan soal Penangkapan Iwangin
Kamis, 01 November 2007

Jakarta, Kompas - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengharapkan polisi segera memberi penjelasan atas penangkapan aktivis Lembaga Pendidikan Hukum dan Demokrasi, Iwangin Sabar Olif. Penjelasan itu dibutuhkan agar masyarakat di Papua, khususnya para aktivis, tidak resah karena dalam proses penangkapan itu terlibat anggota Detasemen Khusus 88 Antiteror.

Hal tersebut dikemukakan komisioner Komnas HAM, Ridha Saleh, Rabu (31/10), setelah sebelumnya menerima aktivis HAM yang mengadukan penahanan Iwangin. Saat ini Iwangin yang ditangkap pada tanggal 18 Oktober lalu masih ditahan di Markas Besar Polri, Jakarta.

Gunawan, salah satu aktivis yang turut mengadu ke Komnas, mengatakan, Iwangin ditangkap karena diduga menghasut dan menghina kepala negara. Penghasutan itu terkait dengan penyebaran layanan pesan pendek (SMS) yang berisi antara lain dugaan genosida terhadap warga Papua melalui makanan beracun.

Para aktivis menilai penangkapan itu janggal karena polisi tidak menangkap orang yang mengirim SMS kepada Iwangin serta penulis awal pesan itu.

Selain itu, setelah ditangkap di Papua, Iwangin dibawa ke Jakarta dan ditahan di Mabes Polri.
Dihubungi secara terpisah, Kepala Humas Polda Papua Kombes Agus Rianto mengemukakan, pemindahan Iwangin ke Jakarta sepenuhnya dilakukan untuk mempercepat pengembangan penyelidikan.

”Kami memiliki keterbatasan peralatan untuk membuktikan pengakuan tersangka. Sejauh ini kami belum menerima hasil pemeriksaan dan penelusuran tersangka lain di Jakarta. Di Papua, polisi menelusuri berdasarkan keterangan tersangka. Bisa saja jika kami menemukan tersangka lain, Iwangin tidak lagi berstatus tersangka,” ungkap Agus Rianto. (JOS)
Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS

militia



Ancaman Benturan Massa Ada di Depan Mata
Rabu, 28 Maret 2001

Jakarta, Kompas
Meski Presiden Abdurrahman Wahid dan sejumlah ulama Nahdlatul Ulama (NU) telah meminta agar massa pro-Abdurrahman Wahid tidak ke Jakarta, Selasa (27/3), sekitar 1.500 orang menggelar aksi unjuk rasa di depan Istana Merdeka. Mereka berdatangan dari basis-basis massa NU di Tegal, Batang, Pasuruan, Malang, dan sejumlah kota di Pulau Jawa. Massa pendukung Abdurrahman Wahid masih terus mengalir ke Jakarta dan diperkirakan akan kembali unjuk kekuatan hari ini bersamaan dengan jawaban Presiden terhadap memorandum I DPR. Sejumlah kelompok anti-Abdurrahman Wahid juga merencanakan turun ke jalan pada hari yang sama.
Sejumlah demonstran pro-Abdurrahman Wahid berdatangan di depan Istana Merdeka dengan membawa serta tas-tas besar berisi pakaian. Tas-tas tersebut ikut diusung ketika massa bergerak menuju Bundaran Hotel Indonesia. Sebagian mengenakan celana loreng, memakai sorban atau ikat kepala, dan mempersenjatai diri dengan pentungan dan cemeti.
Sepanjang jalan mereka meneriakkan caci-maki terhadap Ketua MPR Amien Rais dan Ketua DPR Akbar Tandjung. Kata-kata kasar dan kata-kata yang mengandung ancaman kekerasan dilontarkan. Spanduk-spanduk seruan rukun bergambar empat pemimpin politik, yakni Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Amien Rais, dan Akbar Tandjung seolah tidak ada pengaruhnya terhadap massa yang gerah terhadap gerakan di parlemen maupun ekstraparlementer untuk menjatuhkan Abdurrahman Wahid.
Namun, wajah yang garang dan perilaku kekerasan tidak hanya dipertontonkan oleh massa pro-Abdurrahman Wahid. Massa anti-Abdurrahman Wahid dalam aksi-aksi sebelumnya juga bersikap dan berperilaku serupa. Sewaktu massa anti-Abdurrahman Wahid mengepung Istana Kepresidenan dalam aksi 12 Maret 2001, seorang aktivis gerakan mahasiswa 1988 bernama Sarbini dipukuli dan telinganya nyaris putus hanya karena orasi yang diberikan tidak bisa diterima. Bentrok dengan massa mahasiswa yang berseberangan aspirasi tidak bisa dicegah saat mereka melewati Universitas Atma Jaya (UAJ) Jakarta dan Universitas Bung Karno (UBK). Sejak itu massa mahasiswa maupun nonmahasiswa bersiaga dengan tongkat dan pentungan.
Benturan antara massa pro dan anti-Abdurrahman Wahid yang meluas dikhawatirkan terjadi sewaktu-waktu. Kedua belah pihak mulai mempersiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan benturan fisik dan sama-sama bertekad untuk melawan meski muncul keprihatinan di antara mereka akan kemungkinan bentrokan massa. Kekerasan di tingkat massa akar rumput akibat perseteruan di tingkat elite tersebut makin rumit pada saat gerakan anti-Partai Golkar terus bergulir dan diwarnai dengan kekerasan. Jajaran Golkar pun kini mulai bergerak memberikan perlawanan bahkan perintah untuk melawan, itu keluar dari Ketua Umum Golkar Akbar Tandjung.
"Kalau kami diserang, kalau kami diintimidasi secara fisik, wajar bila kami memberikan perlawanan. Kalau tidak, tentu kantor kami hancur," kata Tandjung.
Kekhawatiran akan terjadinya bentrok antara kelompok pro dan anti-Abdurrahman Wahid makin hari makin nyata. Untuk mengantisipasi aksi-aksi hari ini saja sedikitnya 100 SSK atau sekitar 1.000 personel polisi disiagakan. Jumlah itu belum termasuk aparat militer yang diperbantukan. Kemegahan Istana Merdeka hari-hari ini terpaksa dikorbankan demi keamanan dengan pemasangan kawat berduri untuk mencegah demonstran menerobos ke halaman Istana.
Pengamanan kompleks wakil rakyat di Senayan juga diperketat. Setelah massa pro-Abdurrahman Wahid berhasil menyingkirkan pagar kawat berduri di halaman Gedung MPR/ DPR, kini aparat membentengi "rumah rakyat" itu dengan dinding fiberglass setinggi dua meter yang diisi penuh dengan air. Benteng itu milik Detasemen Zeni Tempur III Kodam Jaya.
"Ini untuk mengantisipasi kemungkinan massa menerobos ke dalam karena pagar kawat berduri ternyata jebol juga. Sekarang lebih kuat, ditusuk pakai sangkur pun enggak akan tembus," kata Kepala Polda Metro Jaya Mulyono Sulaiman saat meninjau pemasangan benteng tersebut pekan lalu.
Tak bisa dibendung
Massa pendukung Abdurrahman Wahid yang silih berganti datang ke Jakarta sebagian besar masih belum terkoordinasi secara terpusat. Sebagian besar di antaranya dikoordinasikan oleh kiai-kiai atau pemimpin-pemimpin pemuda tingkat lokal. Kedatangan mereka ke Jakarta pada umumnya dipicu oleh aksi-aksi yang dilakukan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan massa anti-Abdurrahman Wahid lainnya yang berpuncak dengan aksi pengepungan Istana Presiden dan "pendudukan" Gedung MPR/ DPR tanggal 12 Maret lalu. Namun, aksi jalanan massa pro-Abdurrahman Wahid akan terus berlangsung bersamaan proses ke arah Sidang Istimewa (SI) MPR. Apalagi bila massa anti-Abdurrahman Wahid kembali unjuk gigi.
Panglima pasukan berani mati pembela Abdurrahman Wahid, KH Nuril Arifin, menyatakan bahwa massa Abdurrahman Wahid akan tetap mengalir ke Jakarta meski dilarang oleh pimpinan NU, Banser, maupun Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
"Meski orang NU dan PKB bilang jangan turun, jangan turun, itu kan suara orang yang dapat kursi. Kami ini membela yang benar, tidak ada urusannya dengan mereka. Wong mereka juga enggak bisa mbelain Gus Dur (Abdurrahman Wahid-Red). Jadi, sepanjang posisi Gus Dur belum aman, kami siap untuk bertransmigrasi ke Jakarta. Di kolam ini air berlimpah, di desa kami sulit mencari air. Kami bisa mandi di sini. Kalau terus begini, saya akan kirim satu juta massa ke Jakarta dan akan saya bikin Gedung DPR menjadi WC atau dapur umum," ujar Nuril, yang juga pengasuh Pondok Pesantren Sokotunggal di Semarang, yang ditemui di Bundaran Hotel Indonesia.
Avianto, koordinator lapangan dalam aksi kemarin, mengatakan bahwa massa yang datang pada umumnya tidak banyak mengerti mengenai proses yang terjadi di DPR. "Mereka hanya tahu bahwa kiainya diganggu. Dan oknum yang melakukan itu adalah Amien Rais, Akbar Tandjung, dan kawan-kawannya. Kalau sampai Gus Dur diturunkan, pasti akan menimbul sakit hati berkepanjangan," ujar Avianto.
Nuril menyatakan tidak akan segan-segan melayani massa yang akan dikerahkan untuk melawan massa pendukung Abdurrahman Wahid. "Kalau itu maunya. Silakan, senang, wong mlebu suwargo ora sak awake. Mati dhisik. Kami ini rindu surga," kata Nuril kepada Kompas. Ia pun meminta dukungan kepada massa yang berada di sekelingnya. "Benar enggak?" kata Nuril yang langsung diiyakan oleh pengikutnya.
Ancaman kekerasan
Ancaman kekerasan yang meluas antarkelompok masyarakat akibat pertikaian elite politik seputar dipertahankan atau tidak dipertahankannya Presiden Abdurrahman Wahid ada di depan mata. Rangkaian kekerasan sejak memorandum I dijatuhkan baru sebuah awal. Itu pun telah meninggalkan kerusakan, korban, dan rasa tidak aman.
Di Jawa Timur, Gedung DPD Golkar dikepung oleh ribuan massa dan kemudian dibakar. Dalam aksi itu sejumlah fasilitas sosial milik warga Muhammadiyah juga jadi korban. Beberapa saat setelah aksi pengepungan ke Istana Presiden, sejumlah rumah milik warga Muhammadiyah diberi tanda silang dengan cat merah.
"Itu merupakan bentuk teror sama seperti zaman lama ketika terjadi peristiwa Madiun. Pada waktu itu rumah orang-orang Masyumi diberi tanda oleh lawan-lawan politiknya," kata Hariyoso, Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Amanat Nasional (PAN) Banyuwangi. Akibat aksi tersebut, mereka terpaksa menunda Musyawarah Daerah PAN Banyuwangi yang sedianya akan dilaksanakan 18 Maret lalu.
Kecaman serupa dikemukakan Wakil Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsudin. "Tindakan itu sangat bertentangan dengan nilai demokrasi dan merupakan suatu bentuk pengabaian terhadap sikap politik yang sportif," ujar Din menanggapi aksi teror tersebut. Sampai detik ini belum terungkap siapa pelaku aksi teror itu. Namun, aksi serupa justru diulangi di Makassar. Korban kali ini adalah para pengurus PKB.
Aksi-aksi teror dan kekerasan juga dilakukan dan dialami oleh kalangan mahasiswa. Aktivis mahasiswa yang dituduh "kekiri-kirian" di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, jadi sasaran kekerasan. Belum lama ini markas Mahkamah Rakyat yang didirikan oleh aktivis Forum Kota (Forkot) di depan kampus dihancurkan oleh aparat keamanan pukul 02.00 dini hari.
Miksil, aktivis Forkot di kampus tersebut, dipukuli oleh 15 preman yang menunggunya di lokasi yang tidak jauh dari kampus. Adian, aktivis Forkot dari Universitas Kristen Indonesia (UKI), tidak luput dari sasaran teror. Beberapa kali ia mendapat ancaman lewat telepon, surat elektronik, atau pesan tertulis melalui telepon genggam, seperti "Hati-hati, leher Anda bisa dipotong."
Teror tidak hanya melalui kata-kata, tetapi juga secara fisik. "Ban mobil saya pernah tiba-tiba lepas. Minggu lalu rem mobil saya dipotong. Itu sudah biasa," ujar aktivis Forkot yang pernah dipelesetkan oleh kelompok pro-Habibie menjadi Forum Komunis Total itu.
Kekerasan dan teror terhadap aktivis yang dituduh kiri atau komunis itu dialami oleh aktivis Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), Partai Rakyat Demokratik (PRD), Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), dan sejumlah organ mahasiswa lainnya. Stigmatisasi komunis dan serangan-serangan terhadap mereka makin menguat setelah Partai Golkar secara terbuka menyatakan perlawanan terhadap aksi-aksi yang disebutnya anarkis terhadap partai itu.
Sekjen FPPI Yogyakarta Gunawan dipukul dengan konblok usai menghadiri seminar di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta oleh sebuah organisasi kepemudaan yang berafiliasi pada partai politik. Aksi kekerasan juga menimpa seorang aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) yang membonceng sepeda motor yang dikendarai oleh Gunawan.
Mohammad Lutfi, Ketua Wilayah Gerakan Pemuda Kaabah (GPK) DI Yogyakarta, mengakui bahwa pihaknya menjadikan gerakan berhaluan sosialis-komunis sebagai sasaran. "Mana lagi kalau bukan PRD," ujar Lutfi.
Markas LMND Solo yang giat dalam aksi anti-Golkar di daerah itu juga menjadi sasaran kekerasan. Koordinator LMND Solo Joko Sumantri, menduga penyerbuan itu merupakan teror dari lawan-lawan politiknya. "Kami melihat ada indikasi politis bila melihat kronologisnya. Sehari sebelumnya, Akbar Tandjung berada di Solo. Ia mengatakan bahwa Golkar bertekad akan memberangus musuh-musuh Golkar. Beberapa jam kemudian terjadi perusakan kantor kami," ujar Joko.
Penyerangan dan perusakan markas organisasi juga dialami oleh KAMMI Jember. Pada saat mereka melakukan aksi menentang Presiden, dua orang pro- Presiden merobek-robek poster mereka, beberapa saat kemudian mereka hendak menyerbu ke massa KAMMI yang sedang berunjuk rasa di Gedung DPRD Jember. Sore harinya, 15 orang yang mengaku pendukung Presiden merusak seluruh isi sekretariat dan mengancam akan membakar kantor tersebut bila aksi menggoyang Abdurrahman Wahid terus dilakukan.
Bergulir
Aksi-aksi anti-Golkar terus bergulir dari kota ke kota dan diperkirakan akan makin kencang bergulir bersamaan dengan meningkatnya eskalasi pengerahan massa pro dan anti- Abdurrahman Wahid. Kantor-kantor dan simbol-simbol Golkar jadi sasaran. Kantor DPD Golkar di Cikini beberapa kali menjadi sasaran mahasiswa dan massa rakyat anti-Golkar. Usaha-usaha untuk melakukan pembakaran Kantor Golkar di Cikini telah beberapa kali dilakukan meski gagal. Serangan-serangan itu yang membuat Golkar makin berkonsolidasi.
Sejumlah pendekar, "preman", dan kader Golkar telah disiagakan untuk menjaga kantor mereka dan diinstruksikan untuk melawan bila diserang. Kantor DPD Golkar di Yogyakarta yang terletak di Jalan Sudirman siang-malam dijaga kader-kadernya yang berpostur tegap untuk mengantisipasi serangan massa.
"Orang yang menghendaki Golkar bubar adalah komunis sebab Orde Baru itu antikomunis," kata Sekretaris DPD Golkar DI Yogyakarta Gandung Pardiman.
Di Jakarta, Golkar menggandeng para pendekar Banten untuk mengamankan aset-aset Golkar. Embay, Ketua Gerakan Antikomunis Masyarakat Banten (GAKMB), pernah mengirim ribuan anggota Pam Swakarsa dari Banten dalam pengamanan SI MPR 1988. Ia kini kembali siap mengerahkan massa ke Ibu Kota. Menurut Embay, pihaknya akan berusaha menghindar andaikata diserang kelompok lain.
"Namun, jika terpaksa, kami juga siap melawan," tegas Embay. "Kalau kami dilempari bom molotov, masak kami harus diam saja," ujarnya.
Di Palu, Sulawesi Tengah, aktivis Golkar juga bersiap-siap mengantisipasi gerakan anti- Golkar. Partai berlambang pohon beringin di daerah itu kini telah membentuk Laskar Beringin. "Laskar yang kami bentuk berkekuatan 5.000 kader muda Golkar yang militan. Ini menyangkut harga diri. Jangan sampai terulang sejarah kelabu Golkar di Jawa Timur," kata Wakil Ketua DPD Golkar Palu.
Mobilisasi massa, intimidasi, dan ancaman kekerasan membayang-bayangi proses politik yang akan berlangsung hari-hari mendatang. (Tim Kompas)

Peringati Hardiknas Mahasiswa Diserang Massa, Dirjen Dikdasmen Dijotos
Yogya, Bernas

Aksi damai memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) oleh Keluarga Besar Mahasiswa Yogjakarta (KBMY) Rabu (2/5) diserang oleh kelompok massa tak dikenal. Akibat penyerangan oleh sekitar 30 orang itu, empat orang anggota KBMY luka hingga mengeluarkan darah.
KBMY terdiri atas mahasiswa Partai Semangat Intelektual (PSI) UAJY, Partai Kanan Kiri Oke (PKKO) UAJY, Partai Solidaritas (PS) IAIN, PAD IAIN, PRM IAIN, FKLM, Keluarga Besar UGM, YKP STIE, Pendowo UMY dan Komite Perjuangan Mahasiswa Perubahan (KPMP) UII.
Di Jakarta, ratusan pelajar SMP dan SMU berunjuk rasa di kantor Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), Jalan Jenderal Sudirman, Rabu kemarin dalam rangka peringatan Hardiknas. Aksi itu membuat panik ratusan pelajar SD, SMP dan SMU yang tengah menyaksikan Pagelaran Insan Pendidikan di gedung itu, Rabu (2/5). Pendemo juga terlibat bentrokan kecil dengan para polisi dan menjotosi Direktur Jenderal (Dirjen) Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen), Indrajati Sidi.
Ihwal penjotosan, terjadi ketika para pelajar yang tergabung dalam Aliansi Pelajar Indonesia (API) itu berusaha masuk ke gedung Depdiknas. Mereka ingin memasang spanduk besar di dalam gedung. Namun, Indrajati yang keluar gedung menemui pendemo, melarang. Pendemo marah. Mereka tetap memaksa masuk dan melayangkan pukulan pada Indrajati, pejabat tinggi pada Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) bergelar doktor itu. Huru-hara itu berhasil dituntaskan setelah polisi datang.
Presiden Abdurrahman Wahid pada peringatan Hari Pendidikan Nasional di Istana Negara, Rabu (2/5) menyampaikan keprihatinan kepada anak-anak sekarang yang lebih menyukai cerita dan musik luar negeri daripada kisah dan musik tradisional. "Cerita Satria Baja Hitam dan musik rap lebih terkenal daripada cerita Malin Kundang serta berbagai tembang," kata Gus Dur yang didampingi Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri, Ibu Sinta Nuriyah Wahid, serta Menteri Pendidikan Nasional Yahya Muhaimin.
Kepada sekitar 100 pelajar sekolah dasar, sekolah lanjutan pertama dan atas serta para pejabat Depdiknas dan tokoh pendidikan yang menghadiri acara Hardiknas itu, Presiden Wahid menyebutkan pula pemerintah dan masyarakat selama ini memang mementingkan pendidikan nasional. "Adalah lucu kita mementingkan pendidikan dasar, tapi melupakan kepentingan dasar masyarakat," kata Gus Dur.
Karena itulah, para pendidik diminta untuk tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan dan teknologi, tapi juga sikap moral, karena jika moral bangsa ini rendah maka yang mereka utamakan adalah kepentingan pribadi dan bukan kepentingan masyarakat secara keseluruhan.
Empat titik
Tentang aksi damai peringati Hardiknas di Yogya, diperoleh keterangan, semula sekitar 125 orang mahasiswa yang tergabung dalam KBMY menggelar aksi dan jalan kaki bersama hendak menuju gedung DPRD DIY di Jalan Malioboro. Mereka berangkat dari empat titik pemberangkatan yaitu kampus IAIN, kampus UGM, kampus UMY Fakultas Hukum dan kampus STIE YKPN.
Meski berangkat dari empat titik berbeda, peserta aksi itu sepakat untuk bertemu di perempatan Tugu. Sekitar pukul 10.30 WIB, mereka bertemu di tempat yang telah mereka rencanakan. Namun, di sana mereka telah dihadang oleh sekitar 30 orang -- sebagian mengenakan tutup kepala-- di depan kantor PLN Jalan Mangkubumi. Ketika massa KBMY berjalan ke arah Jalan Malioboro, tiba- tiba mereka diserang dengan pentungan dan lemparan batu.
Aksi penyerangan tiba-tiba itu membuat massa KBMY kacau dan melarikan diri. Sebagian mahasiswa sempat melawan dengan melempar batu yang mereka peroleh di pinggir jalan. Selain itu, mereka juga sempat adu pukul dengan pentungan kayu.
Aksi penyerangan berlangsung singkat, setelah sekitar delapan menit. Akibat peristiwa itu, Yusrol Hanaim mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga luka di bagian wajah, Ayu dan Ika, keduanya mahasiswa ABA Yapindo luka di bagian dada dan kepala. Sedang Bayu, mahasiswa UGM mengalami luka di bagian kepala.
Setelah itu, mahasiswa melanjutkan perjalanan menuju gedung DPRD dengan pengawalan ketat polisi. Di gedung wakil rakyat itu, massa mahasiswa berorasi menuntut perbaikan kualitas pendidikan.
Salah seorang koordinator KBMY, Gunawan, mengatakan, pihaknya sebenarnya sudah mengetahui bakal ada penyerangan. Namun, karena aksi yang digelar adalah aksi damai, katanya, KBMY tetap melanjutkan perjalanan menuju gedung DPRD.
Informasi yang dihimpun Bernas, aksi penyerangan oleh massa tak dikenal dilakukan karena para mahasiswa KBMY dituduh sebagai massa PRD dan komunis. "Kami tegaskan, KBMY maupun mahasiswa yang ada di sini, tidak ada yang menjadi anggota PRD ataupun underbow-nya. Kami juga tidak ada yang komunis sehingga tuduhan mereka itu salah besar," ujar Gunawan, mahasiswa UMY.
Anggaran timpang
Di teras DPRD DIY, KBMY melakukan orasi secara bergantian tanpa dialog dengan anggota dewan. Dalam pernyataan sikapnya yang ditandatangani koordinator umum, Martinus Bethet Wijaya, KBMY melihat bahwa dunia pendidikan di Indonesia mengalami ketimpangan anggaran. Sebagai pondasi bangsa, sektor pendidikan hanya mendapat 4,4 persen dari total APBN 2001. Di sisi lain, KBMY melihat angka putus sekolah masih sangat tinggi, bahkan masih ada yang tidak sempat mengenyam bangku sekolah.
Dampak minimnya anggaran itu, menurut KBMY, memaksa institusi-institusi pendidikan mencari tambahan dana, yang menyebabkan terjadinya komersialisasi pendidikan.
Usai aksi di DPRD DIY mereka bubar. Untuk menjamin keamanan peserta aksi dari gangguan pihak lain, para pengunjukrasa diangkut dengan dua buah truk Unit Perintis Sabhara (UPS) Poltabes Yogyakarta ke Universitas Janabadra dan UGM.
Masih berhubungan dengan peringatan Hardiknas, mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) kemarin juga menggelar aksi keprihatinan di depan kampus mereka di Jalan Colombo, Yogya. Pada saat bersamaan, Keluarga Mahasiswa (KM) UGM juga menggelar aksi serupa di Boulevard. Mereka menuntut pemerintah memperhatikan nasib pendidikan nasional yang saat ini sangat memprihatinkan.
Di Sleman, ratusan siswa SMK Muhammadiyah Prambanan, SMU Muhammadiyah Mlati, beberapa pelajar SMU Muhammadiyah, serta elemen Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) Sleman datang ke DPRD Sleman menuntut dilaksanakannya Surat Keputusan Bersama (SKB) dua menteri dan SKB tiga menteri di Kabupaten Sleman, serta ditindaknya pelanggar dua SKB itu.
Dengan membentangkan puluhan poster dan bendera merah putih, ratusan siswa yang dikawal sekitar 50 Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah (Kokam) tersebut berorasi di depan gedung dewan Sleman. Setelah berorasi sekitar 30 menit, pelajar yang datang dengan menggunakan beberapa mobil, motor, dan angkutan umum diterima anggota dewan, saat itu diwakili Drs Ovie Supyanto, M Yazid SAg, Drs Putu Sumadiyasa, Drs Aris Setiawan, dan Muslimin di ruang paripurna.
Ovie Supyanto mengatakan, dewan melalui fraksi-fraksi sudah meyoroti pelaksanaan dua SKB itu dalam Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) bupati beberapa waktu lalu. "Kami akan bertindak lebih keras lagi mengingatkan eksekutif terhadap pelaksanaan dua SKB itu. Jika ada penyimpangan, kami pasti akan memberi sanksi kepada eksekutif," kata Ovie.
Ketua Komisi E DPRD Sleman,, Drs Putu Sumadiyasa, dengan tegas memperingatkan bupati Sleman yang menurut dia kurang memperhatikan dunia pendidikan di Sleman.
Sehubungan dengan peringatan Hardiknas, redaksi Bernas Rabu (2/5) menerima beberapa rilis dari berbagai lembaga berisi pernyataan sikap. Gerakan Pelajar Revolusioner (Gelar) menyatakan sikap antara lain menuntut penghancuran sistem komersialisasi pendidikan, perombakan kurikulum ala Orba dan pendidikan murah untuk rakyat. Rilis itu ditandatangani oleh Nugraha Adi (ketua) dan Vercilly V.K Yoppy (Sekjen). Hal senada juga dinyatakan oleh Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) eksekutif kota Yogyakarta dalam rilis yang ditandatangani Dony Lusindra.
Sedangkan Dewan Pimpinan Cabang Perhmpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) "St Thomas Aquinas" Yogyakarta menyatakan antara lain diperlukan reformasi pendidikan di Indonesia. Reformasi pendidikan harus diarahkan pada perumusan pendidikan yang membangun karakter bangsa, memberdayakan rakyat dan menciptakan kesetaraan serta selalu menjadi hak asasi setiap orang. Pernyataan PMKRI ditandatangni oleh Natalia Ch A.W (ketua presidium) dan Ika Dewi Damayanti (Wakil sekjen).
Fraksi Kebangkitan Bangsa DPRD Jawa Tengah, melalui sekretaris Dra Hj Zuhar Mahsun, menyatakan, agar biaya atau anggaran sektor pendidikan ditingkatkan dari sekitar 12 persen APBD 2001 menjadi 20 persen, pada tahun 2002. Sedangkan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah Ikatan Remaja Muhammadiyah DIY, menyatakan sikap antara lain menuntut pemerintah melakukan langkah konkret peningkatan kualitas pendidikan, menambah anggaran pendidikan dan memberi jaminan keamanan guna menciptakan suasana kondusif pengembangan pendidikan selanjutnya. (dtc/ant/sig/m3/sun/msa)

Sorjan Ikut Amankan Lebaran dan Natal
Harian Kompas
Sabtu, 15 Desember 2001

Yogyakarta, Kompas - Menyambut Lebaran dan Natal tahun ini, berbagai elemen pemuda yang berasal dari bermacam organisasi membentuk Solidaritas Rakyat Jogyakarta untuk Perdamaian (Sorjan). Sebagai kegiatan pertama, malam ini mereka akan melakukan takbir keliling dan penyebaran brosur seruan perdamaian.
"Forum ini sebenarnya hanya formalisasi dari pertemuan-pertemuan yang sering kita gelar selama ini. Kebetulan bulan ini banyak peristiwa keagamanaan yang melibatkan semua lapisan masyarakat dan golongan, akhirnya kita tertarik untuk membantu kepolisian mengamankan Lebaran dan Natal serta Tahun Baru," kata Gunawan dari Persatuan Perjuangan Pemuda Yogyakarta/Dewan Daerah Front Perjuangan Pemuda Indonesia DIY (PPPY/ DD FPPI DIY) kepada wartawan di Yogyakarta, Jumat (14/12).
Selain PPPY, ikut bergabung Gerakan Pemuda Ansor DIY, Dewan Pimpinan Daerah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan DIY dan Pergerakan Pemuda Islam (PPI) DIY. Untuk pengamanan itu, kata Agus Nugroho dari PDI-P DIY, kami akan mengerahkan 200 orang satgas PDI-P dan dari Banser 300 orang. Setelah mengamankan Takbir dan Lebaran, mereka akan dibagi-bagi menjaga gereja di malam Natal nanti, katanya.
Untuk pelaksanaan pengamanan, Sorjan sudah berkoordinasi dengan Poltabes Yogyakarta. "Kemarin kami sudah bertemu dengan Kapoltabes untuk untuk menyampaikan niat membantu pengamanan itu. Anggota Satgas dan Banser akan dibagi-bagi menjaga gereja dan daerah-daerah yang dianggap rawan serta turut mengadakan patroli keliling kota," tambah Agus.
Menurut Gunawan, tujuan mendirikan forum itu tak hanya untuk membantu kepolisian, tetapi juga untuk konsolidasi kerakyatan supaya terjauhkan dari penularan konflik elite yang terus melanda perpolitikan negara ini. Dan juga memberikan pendidikan politik kepada rakyat agar mereka mempunyai bargaining kepada para elite politik tadi.
Takbir keliling malam ini akan dimulai dari Alun-alun Pakualaman sekitar pukul 19.00. PDI-P dan Banser NU akan mengerahkan ratusan pendukungnya untuk memeriakan takbiran itu dan mengajak siapa saja yang ingin ikut bergabung. "Kami merupakan forum terbuka yang dapat diikuti oleh setiap orang yang cinta damai," kata Agus.(sig)

Polisi dan TNI Sembunyi di Balik Milisi
.::NEWS::.
Author : Angga Haksoro
Thu, 08 Jun 2006 21:04:44 +0700

Polisi dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) kerap menjadikan milisi sebagai tempat pelimpahan tanggung jawab dalam beberapa kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Kepala Divisi Kajian dan Kampanye Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Gunawan mengatakan, bentrokan horizontal antara milisi dan masyarakat kerap dijadikan alat oleh polisi dan TNI untuk menghindar dari isu-isu pelanggaran HAM yang dilakukannya.
Gunawan menjelaskan, beberapa sidang kasus pelanggaran HAM yang dilakukan milisi selalu menempatkan polisi dan TNI dalam posisi yang aman. Padahal, mereka diduga juga terlibat. Hal seperti itu terlihat pada kasus pelanggaran HAM di Timor Timur dan Abepura yang justru memvonis bebas para pelaku yang berstatus militer dan memvonis bersalah para pelaku sipil yang berperan sebagai milisi.
“Tetapi yang kita lihat pada beberapa kasus, operasinya itu operasi gabungan. Jadi, waktu mengusir masyarakat itu ada tentaranya, ada polisinya, ada polisi kehutanannya, ada trantibnya, ada premannya. Ini kan yang sesungguhnya merusak sistem hukum sendiri. Karena, masak aparat hukum bisa bekerja sama dengan preman seperti itu. Dan, konteks reformasi sektor keamanan, bagaimana tentara yang seharusnya tidak lagi terlibat seperti itu masih juga terlibat. Polisi yang seharusnya melindungi dan melayani masyarakat justru sebagai alat efektif untuk melakukan penggusuran,” ujarnya.
Gunawan menduga aparat keamanan dan TNI-lah yang membentuk dan membiayai operasi milisi-milisi di Indonesia. Namun, diperlukan penyelidikan lebih lanjut untuk membuktikannya.

Duh, Gerahnya Ormas ala Militer
Voice of Human Rights
.::Feature::.
Author : Angga Haksoro
Tue, 13 Jun 2006 20:29:58 +0700

“Yang merusak moral bangsa… usir! Yang merusak moral bangsa... usir! Hidup FBR! Yang kurang ajar... hajar! Yang merusak moral bangsa, yang anarkis, hajar! Yang di belakang Inul, iblis! Yang di belakang Inul, iblis.”
Itu adalah salah satu teriakan massa Forum Betawi Rempug (FBR) saat menggelar aksi. Setiap melakukan aksi, organisasi kemasyarakatan berseragam hitam-hitam ini bergaya militer. Polah tingkah ormas sipil berseragam seperti FBR, Front Pembela Islam (FPI), dan sebagainya membuat gerah banyak orang. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur adalah salah satu orang yang gerah melihat tingkah mereka. Makanya, Gus Dur meminta agar kelompok seperti itu dibubarkan.
“Meski kebebasan berserikat dan berorganisasi dilindungi kontitusi, tidak untuk yang mengganggu ketertiban umum,” tegas Gus Dur, awal bulan ini.
“Ini bukan soal organisasinya, tapi soal fungsi oganisasinya. Organisasi maling, boleh ada tidak? Coba! Tidak boleh, kan? Bukannya tidak ada fungsinya. Fungsinya ya merusak!" tandas tokoh Nahdatul Ulama ini.
Pernyataan Gus Dur tersebut selaras dengan Departemen Dalam Negeri yang berencana membekukan organisasi kemasyarakatan atau ormas ilegal.
Menurut Kepala Pusat Penerangan Departemen Dalam Negeri Andreas Tarwanto, di Indonesia terdapat 800 ormas dan separuhnya ilegal. Jadi, saat ini ada sekitar 400 ormas
bermasalah.
Menurut Andreas, ormas seperti itulah yang membikin gerah masyarakat, karena acap kali melakukan aksi perusakan, pemerasan, dan tindakan pelanggaran hukum lainnya.
Tukang Pukul Partai
Pada zaman perang kemerdekaan dulu, kelompok-kelompok sipil diorganisasikan ala militer untuk mempertahankan Republik.
Pada masa maraknya kelompok separatis tahun 1950-an, kelompok-kelompok seperti ini dibentuk oleh negara untuk melawan pemberontak. Pada masa pergolakan politik ideologi tahun 1960-an, kelompok-kelompok seperti ini menjadi “tukang pukul partai”. Namun, sekarang, untuk apa kelompok seperti ini dibentuk?
Direktur Eksekutif Propatria, sebuah lembaga kajian pertahanan, T Hari Prihatono, mengatakan terbentuknya organisasi-organisasi sipil ala tentara itu bukan berdasar pada kepentingan pertahanan negara.
Tapi, menurut pengamatannya, kelompok semacam itu dibentuk atas dasar kepentingan politik. Kelompok semacam itu tumbuh bak cendawan di musim hujan karena adanya kebebasan berorganisasi sejak Orde Baru tumbang.
“Intinya adalah, sekali lagi, itu bukan dipersiapkan dalam kerangka bagi kepentingan bela negara dan bagi kepentingan pertahanan. Sama sekali tidak,” kata Prihatono. “Tapi itu sebetulnya lebih pada, sekali lagi, mengacu pada terbukanya ruang demokratisasi itu menjamin bahwa setiap orang boleh berorganisasi.”
Tanggapan FPI
Ide membubarkan ormas yang gemar melakukan kekerasan itu tidak digubris secara langsung oleh Front Pembela Islam (FPI).
Ketua Departemen Dalam Negeri FPI Jauhari Mubarok bersikukuh bahwa hanya Allah yang berhak membubarkan ormasnya.
“Mau bubar atau tidak, FPI ini kan hanya bergerak di bidang amal ma’ruf nahi mungkar. Gerakan ini gerakan moral. Kalau masyarakat masih suka dengan ini, kita terus. Tidak ada yang bisa membubarkan, kecuali Allah,” tegas Mubarok.
Masalahnya, hingga kini ormas-ormas ala militer bebas melakukan aksi kekerasan tanpa pernah tersentuh hukum.
Menurut aktivis Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Gunawan, pembubaran ormas ala militer tidak boleh gegabah.
Kata Gunawan, harus melihat anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) tiap-tiap organisasi terlebih dahulu. Jika ternyata dalam anggaran dasarnya menghalalkan kekerasan, maka ormas itu dapat dibubarkan.
Namun, jika organisasi tersebut tidak menghalalkan kekerasan, maka tindakan hukum hanya dapat dikenakan terhadap pelakunya secara individual. “Kalau tenyata tidak ada dalam AD/ART dan kemudian tindakannya seperti itu, kan seharusnya pelaku dan penanggung jawabnya yang diambil,” ujarnya.
Gunawan mengaku kecewa terhadap polisi yang membiarkan ormas-ormas seperti itu melakukan aksi kekerasan.
LSM Menentang
Anehnya, pembubaran ormas pelaku kekerasan justru ditentang oleh aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Usman Hamid tidak setuju jika ormas-ormas bermasalah dibubarkan begitu saja oleh Pemerintah.
Menurut Usman, pembubaran ormas yang semata-mata didasari pengaduan oleh warga masyarakat bisa berdampak buruk terhadap organisasi lain. Dia khawatir organisasi-organisasi lain yang dianggap bermasalah dapat dibubarkan tanpa proses hukum.
“Tapi kalau memang organisasi-organisasi itu sampai tingkat tertentu seperti milisi-milisi dalam suatu situasi operasi militer… memang harus dibubarkan. Tapi dalam situasi ini memang berbeda. Menurut saya, persoalannya adalah penegakan hukum yang tidak jalan. Itu yang seharusnya digugat,” kata Usman.
Akibat tidak ada penegakan hukum terhadap ormas pelaku kekerasan menjadikan situasi semakin runyam. Di satu sisi, pembubaran ormas semacam itu berbenturan dengan kebebasan berorganisasi yang merupakan salah satu pilar negara demokratis. Di sisi lain, jika tidak dibubarkan, kekerasan demi kekerasan terus merampas kebebasan masyarakat. (Angga Haksoro/E2)

SUARA PEMBARUAN DAILY

PBHI Desak Kapolri Usut Kasus Kekerasan di Garut

[JAKARTA] Kapolri Jenderal Polisi Sutanto didesak untuk mengusut kasus kekerasan terhadap petani di Garut, Jawa Barat, Kamis (1/6), yang diduga dilakukan oleh sejumlah milisi sipil (preman), dan aparat keamanan.

"Sampai tadi malam, tiga orang anggota masyarakat ditembak dan tiga orang ditangkap oleh aparat. Ini merupakan kejahatan kemanusiaan, kami minta Kapolri segera turun tangan," kata Kepala Divisi Kajian dan Kampanye Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Gunawan kepada Pembaruan, Jumat (2/6).

Gunawan mengatakan, pada Kamis (1/6), puluhan hektar tanah petani Garut telah dirusak oleh aparat dan milisi sipil, di mana satu kampung luluh-lantak, dan sepuluh hektar kebun petani dibabat. Konflik kekerasan ini menyebabkan tujuh ribu penduduk kehilangan tempat tinggal dan terpaksa harus mengungsi. Sampai sekarang, laiknya korban gempa di Yogyakarta-Jateng, para petani ini terkatung-katung nasibnya.

Ia mengatakan, kasus tersebut awalnya merupakan konflik perebutan lahan antara warga dengan pemilik perkebunan. Menurut warga tanah yang diklaim pihak perkebunan itu adalah milik mereka, namun menurut pihak perkebunan itu milik mereka.

Puluhan warga melakukan protes, namun protes tersebut malah justru ditangapi dengan kekerasan oleh ratusan milisi dan aparat.

PBHI juga, kata Gunawan, mendesak Komisi Nasional HAM agar segera turun ke Garut untuk menyelidiki kasus tersebut. "Itu benar-benar tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan," kata dia.

Kepala Bidang Penerangan Umum Divisi Humas Polri, Kombes Pol Bambang Kuncoko ketika dikonfirmasi, Jumat (2/6), pagi, mengatakan belum tahu dengan kejadian itu. "Saya belum tahu, saya cek dulu," kata Bambang. [E-8]

Last modified: 2/6/06

Wednesday, July 04, 2007

Resensi Buku tentang Pangan


Pangan,Tanggung Jawab Negara*

Qayuum Amri *


Foto: Luna Maya Duta World Food Progam

IRONIS tumbuh di negeri seperti Indonesia. Kaya akan sumber daya alam, tetapi masih menghadapi bencana kelaparan di beberapa daerah. Dalam buku ini diuraikan beberapa kebijakan yang menyebabkan Indonesia mengalami rawan pangan.

Pertama, kebijakan pangan/pertanian bersifat monokultur (terjadi penyeragaman kebudayaan dan strategi pembangunan pertanian yang padat modal). Melalui kebijakan ini, terjadi ketergantungan pada satu jenis tanaman, sebagai contoh kebijakan ”politik beras” pada masa Orde Baru. Kedua, Indonesia terjebak dalam kebijakan harga pangan murah untuk menopang pengembangan industri dan sektor lain. Ketiga, harga beras impor lebih murah daripada beras lokal. Bahkan, komoditas impor pangan, seperti jagung, sempat dibebani pajak nol persen. Keempat, petani didorong menanam tanaman ekspor. Kelima, perdagangan benih dan teknologi pertanian hanya dikuasai oleh segelintir perusahaan internasional.Dengan monopoli ini, korporasi internasional begitu mudah menetapkan harga. Keenam, kelangkaan akses penunjang kegiatan produksi. Terakhir, penguasaan dan pemilikan sumber agraria di tangan segelintir orang (hlmn 235). Lalu, siapa yang mesti bertanggung jawab atas keadaan ini?

Dalam buku ini ditegaskan bahwa negaralah yang memegang peranan penting untuk menyelesaikan masalah pangan dan busung lapar. Sebab, hak atas pangan (right to food) menjadi bagian dari hak-hak asasi manusia dan termaktub dalam perjanjian internasional. Lantaran hak pangan adalah hak asasi manusia, maka negara menjadi subjek hukum yang berkewajiban untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfill). Sayangnya, pemerintah terkesan ”melalaikan” dan tidak serius melaksanakan kewajiban dalam menjamin kebutuhan pangan warga negaranya.

Bercermin dari kejadian ini, maka negara dapat dikatakan gagal dalam menjalankan fungsi pokok dan tanggung jawab terhadap masyarakat luas. Negara tak mampu memenuhi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang dalam Pasal 18 sampai 21 mengakui hak ekonomi dan sosial. Kemudian, dalam General 12 dari Comittee on Economics, Social and Cultural Rights (CESCR) telah mengakui hak atas pangan secara internasional sebagai hak dasar manusia.

Karena itu, dalam CESCR ini negara berkewajiban menyediakan pangan memadai secara kuantitas dan kualitas sehingga memenuhi standar hidup layak. Jika masih terjadi peristiwa busung lapar dan krisis pangan, apakah negara dapat dikategorikan melanggar HAM? Buku setebal 450 halaman ini merupakan kumpulan tulisan yang membahas krisis pangan di Indonesia.

Di buku ini dikatakan pemicu krisis pangan adalah angka kemiskinan melonjak drastis yang menyebabkan daya beli rendah akibat kenaikan harga kebutuhan pokok dan kegagalan panen di pedesaan. Dampak krisis pangan terjadi gejala busung lapar dan kelaparan yang mengakibatkan pertumbuhan dan tingkat kecerdasan anak terganggu. Tak heran, human development index (HDI) Indonesia berada pada peringkat 117 di antara 170 negara di seluruh dunia. Tentu saja, busung lapar bukan sekadar masalah teknis kesehatan, ekonomi, dan sosial belaka.

Sesungguhnya busung lapar terkait dengan problem politik, moral, dan keadilan. Dalam pandangan PBHI, reforma agraria dapat dijadikan solusi alternatif untuk keluar dari labirin rawan pangan. Gunawan, Kepala Divisi Kajian dan Kampanye PBHI, menilai krisis pangan tidak lepas dari masalah ketimpangan pemilikan tanah yang terjadi dalam struktur agraria di Indonesia. Jadi, reforma agraria ini tidak semata-mata melakukan perubahan struktur kepemilikan tanah, tetapi juga mengelola sumber daya agraria serta mengatasi kontradiksi antara industri, modal, dan perdagangan dengan pertanian.

Tawaran PBHI ini sejalan dengan Komisi HAM PBB (Commision on Human Right) dalam resolusi 2000/10 dan resolusi 2001/15 yang membentuk Special Rapporteur on the Right Food yang melaporkan bahwa akses ke tanah adalah elemen penting untuk membasmi kelaparan di dunia. Special Rapporteur menyebutkan reforma agraria harus secara serius dijadikan instrumen kebijakan untuk mengurangi kelaparan dan kemiskinan. Reforma agraria juga akan mendorong transformasi sesungguhnya dan perubahan redistribusi yang bukan hanya tanah.

Karena itu, kebijakan ini membutuhkan dukungan elemen lain seperti transportasi, akses air, kredit, dan infrastruktur lain. Sungguh mengenaskan apabila nasib masyarakat bagaikan ”tikus mati di lumbung padi”. Jaminan ketercukupan pangan adalah kewajiban negara yang mesti dilaksanakan dan tidak dapat ditawar-tawar lagi. Suatu kemalangan bagi negara yang kaya sumber daya alam seperti Indonesia apabila tidak dapat keluar dari krisis pangan maupun kelaparan yang melanda penduduknya.(*)

* Pernah dimuat di Koran SINDO Minggu, 27/05/2007
*Mahasiswa Bahasa Prancis UNJ, Penggiat Diskusi Demokrasi Kerakyatan Gading14, Yogyakarta

Monday, June 25, 2007

Resensi Buku : Hikajat Kadiroen


Judul Buku : Hikajat Kadiroen

Terkarang Oleh : Semaoen

Dikeluarkan Oleh : Kantoor P.K.I Heerenstraat Semarang


Sekali lagi tentang buku yang ditulis dalam penjara oleh tokoh pergerakan di tahun 1920-an. Semaoen seorang pemimpin muda pada zamannya dan dengan tulisannya ini cukup bisa untuk membongkar - meminjam istilah Takashi Shiraisi - klasifikasi serampangan atas nasionalisme, islamisme, komunisme.


Seperti halnya Mas Marco Kartodikromo dan Haji Muhammad Misbach, yang fenomennya mampu membongkar historiografi ortodox tersebut, novel karya Semaoen ini juga demikian.


Ketika banyak orang menganggap setiap komunis itu atheis dan menghalalkan segala cara, novel itu juga berkisah tentang Toehan Alloh, tempat meminta bantuan, memberikan rasa syukur, dan sumber dari yang halal dan haram maupun masalah dari kondrat yang tak terhindarkan.


Dan buku ini memberikan pelajaran tentang bagaimana mengelola sumber-sumber pengetahuan bagi rakyat. Ketika buku dan pengetahuan menjadi mahal, buku ini menyediakan potongan 20%-10% bagi anggota PKI, SI Locaal Semarang dan VSTP - yang notabene adalah buruh, tani, dan kaum miskin kota. Selain menampilkan potongan di bukunya, buku ini juga dilengkapi iklan - percetakannya kaum kromo.

Wednesday, March 21, 2007

cerpen


Tragedi Para Ksatria
Gunawan*

SEUNTAI bunga mawar melingkar didadanya, harum semerbak seharum dan seindah hatinya.
Joko Umbaran segera berjalan memenuhi sayembara yang dibacakan Wongso Subali, diiringi dua orang yang selama ini mengasuhnya. Singkat kata dan singkat cerita berhasil ditemuinya Kebo Marcuet. Dengan lantang Wongso Subali berkata: “Biar aku saja yang melawan Kebo Marcuet, dia bukan tandinganmu anak muda!!.” Wongso Subali menyerang duluan dengan cepat, seluruh badannya tergerak, termasuk hatinya, dan jiwanya yang tergerak keluar dari badannya ketika Kebo Marcuet membalas serangan. Wongso Subali terbang menuju Nirwana, atau mungkin Neraka dengan menyisakan badan yang hangus terbakar hitam. Sehitam tanda-tanda adanya kematian.
Dua pengiringnya memperingatkan agar ia jangan turun kelingkaran perkelahian. Namun dengan menyatukan hati, memberi tempat pada keberanian dan ketenangan di hatinya, serta tidak memberikan ruang sedikitpun pada keraguan dan ketakutan, iapun berjalan pelan, pelan, ya pelan tapi berusaha jua untuk tegap. Kebo Marcuet tersenyum menghina. “Pulang nak, habiskan waktumu untuk bermanja-manja kepada Ibumu dan pada perempuan dambaanmu, belum pantas kamu menantang Kebo Marcuet, anak ingusan.” Ucapan ini justru menutup seluruh pertimbangan Joko Umbaran, dia terjang Kebo Marcuet, dan kedua pengasuhnya kini berteriak-teriak memberikan semangat dan memberikan seruan tanda bahaya, “awas”, “merunduk” dan sebagainya. Namun, sesingkat kekalahan Wongso Subali, kini Joko Umbaran babak belur.
Rasa kasihan dari Kebo Marcuetlah yang menyebabkan nyawa sang pemuda gagah dan tampan, Joko Umbaran masih tetap bertahan di badannya. Sambil terus menghina dihajarlah segenap badan Joko Umbaran, seluruh badan yang ada hanya bengkak, patah, berdarah dan rasa nyeri. Lebih sakit manakah rasa nyeri dan rasa cinta?.”
Akhirnya Kebo Marcuet memberikan ampun, “mari kutolong anak muda,” ujarnya.“Aku tidak bisa berjalan, harus engkau gendong,” pinta Joko Umbaran kepada Kebo Marcuet, dua orang pelayan justru tenggelam dalam histeria dan kebingungannya.
Betapa terkesima Joko Umbaran, kepada lawannya, seorang gempal, berwajah hitam dan mirip kerbau serta di kepalanya bertanduk. Sungguh baik hati dia, ucapnya di dalam hati. Namun apa salahnya, sehingga Majapahit menuntut kepalanya dan menyediakan hadiah besar. Salahnya jelas, yaitu telah berani meminta cinta kepada Gusti Kanjeng Ratu Kenconowungu. Dan pasti dia mengincar tahta Majapahit, bohong kalau cintanya tulus. Tetapi mungkin aku yang tulus, Kebo ini harus mati demi cintaku pada Ratu Ayu Kenconowungu, aku belum melihat, namun cerita orang telah mengakibatkanku jatuh cinta, dan siapa yang juga tidak merasa senang dengan tahta Majapahit. Kerajaan yang berasal dari desa kecil di tengah hutan Tarik, namun mampu menghancurkan Kediri dan memukul mundur bala tentara Tartar. Begitu naik kepunggungnya, dengan alasan mencari pegangan, aku pegang tanduknya, mulanya pelan, kemudian aku cengkeram dan sekuat tenaga yang tersisa kucabut, meledaklah Kebo Marcuet, aku terlempar keudara dan jatuh terjelembab ditanah. Tanduk yang kucabut berubah menjadi pedang dan gada yang kuberi nama Wesi Kuning.
Bangkit pelan, kuraba dan kurasai badanku, aku kini bersuara cedal, badan miring, kaki pincang. Yang tersisa hanyalah kebanggaan. Majapahit kudatangi, tahta hendak kuraih, namun lewat basa-basi sang Patih, Ratu Kenconowungu, menolak memenuhi janjinya pada sayembara, bahwa setiap lelaki menjadi suaminya bila sanggup membunuh Kebo Marcuet. Aku kini menjadi penguasa Blambangan, namaku kini Menak Jinggo, istriku dua, namun aku masih berharap pada Ratu Kenconowungu dan Majapahit nomer dua, bukannya serakah, tetapi menagih janji.
Dan kini apa yang terjadi, Ratu Ayu mengeluarkan sayembara lagi, dengan hadiah yang sama. Kini pemuda gagah bernama Damarwulan. Sekali lagi, seluruh laki-laki perkasa, harus tunduk pada perempuan, apalagi bila cantik dan berkuasa.
Bila Damarwulan menang, dan aku dulu juga pernah menang, atau juga aku menang lagi, sesungguhnya adalah yang muncul para ksatria, atau hanya para lelaki bodoh yang tertipu kekuasaan perempuan. Kata siapa perempuan ditindas oleh lelaki. Meskipun bunga itu wangi dan indah, tetapi ingatlah ada yang beracun, kini aku, Menak Jingga telah mati. Di atas kuburku bunga bertaburan, ingatlah juga bunga melambangkan kematian. Kini Damarwulan bersama Ratu Kenconowungu. Dia hanya mau pada tubuhnya, soal hati Damarwulan tiada yang tahu. Apakah ia juga mengincar tahta Majapahit, tiada yang tahu. Dan kini bunga Ratu Kenconowungu, telah layu direnggut ksatria Damarwulan.
Berbahagialah menjadi awam.

Minggu. 03-02-2002,

Thursday, January 04, 2007

resensi buku


Resensi Buku:
1. Judul Buku : Ideologi Politik Kontemporer
2. Judul Asli : Contemporary Political Ideologies
3. Editor : Roger Eatwell dan Anthony Wright
4. Penerjemah : R.M. Ali
5. Penyunting : Hari Kusharyono
6. Penerbit : Penerbit Jendela
7. Tahun : 2004
8. Tebal : xii+420, 16x24 Cm

Sejarah Pikiran yang Bertindak
Oleh Gunawan*

Ideologi adalah salah satu kajian yang paling rumit akan tetapi mengandung unsur konfliktual yang mampu melibatkan banyak manusia. Sebagai contoh kerumitannya, sesungguhnya apakah ideologi dari Negara Orde Baru (NOB), apakah Pancasila, apakah Developmentalism (Pembangunanisme), apakah militerisme, atau jika kita gunakan perspektif mereka yang mengkritik Orde Baru karena Orde Baru adalah wujud dominasi Jawa dan bergaya Mataram, yang berarti ideologi Orde Baru adalah Kejawen.
Mengamati kerumitan dalam mendefenisikan ideologi, kita harus menelusuri terlebih dahulu ideologi dan sebelumnya, yaitu lewat pemahaman sejarah dan perkembangan masyarakat khususnya di Eropa. Masyarakat memiliki lokalitas dalam arti ia berada dalam identitas yang saling berbeda; plural dalam pengertian horizontal – gender, suku, ras – maupun vertikal – akses ekonomi dan politik. Nasionalitas merujuk pada karakter umum kekuasaan, mulai dari situasinya, cita-cita dan proyeksinya hingga kendalinya. Globalitas masyarakat adalah dialektika emansipasi kemanusiaan antar keyakinan, pemikiran dan sistem kebudayaan. Secara sederhana lokalitas-nasionalitas-Globalitas adalah proses membangun relasi yang utuh antara geo sosial-ekonomi-politik dan cara pandang kemanusiaan yang bisa jadi ideologi yang membebaskan.
Jika hal tersebut diatas dalam konteks sejarah, di Eropa misalnya konsep-konsep ideologi lahir sebagai wujud pembebasan masyarakat dari kungkungan gereja dan feodalisme, demikian juga dengan lahirnya nasionalisme, sebagai wujud dari keberadaan nation state yang lahir dari perjanjian Westphalia untuk mengakhiri perang agama belasan tahun di Eropa.
Maka Ideologi dalam perspektif yang paling sederhana, adalah sejarah ide dan sejarah tindakan yang mampu memobilisasi manusia dalam perjuangan demi cita-cita berserta sekian peperangan, paling tidak setelah keberhasilan revolusi kaum borjuis dalam Revolusi Perancis, Revolusi Amerika dan Revolusi Inggris. Sebuah kemenangan bagi kapitalisme-liberalisme, sekaligus sebagai kondisi yang melahirkan Sosialisme, yang dalam perkembangan setelah munculnya Karl-Marx, Sosialisme diperkenalkan dengan Sosialisme Utopis dan Sosialis Ilmiah.

Pemikiran-pemikiran Marx kemudian menjadi sebuah isme yang melahirkan berbagai macam variasi, mulai dari Marxisme-Leninisme (Marxisme menurut Stalin) Marxisme Ortodox dan revisionis yang kemudian melahirkan kini dikenal sebagai Sosialime Demokratik. Mereka yang menolak Marxis-Leninisme dan Sos-dem kemudian membuat mainstreams baru yang dikenal sebagao Neo-Marxis. Demikian juga varian-varian yang lahir dari tradisi Marxis di dunia ketiga, seperti Maois, pemikiran revolusi Che Guevara dan pemikiran-pemikiran nasionalis kiri lainnya.

Kalau kemudian kita diperkenalkan bahwa imperialisme adalah puncak tertinggi dari kapitalisme, militerisme adalah ekspresi puncak dari kapitalisme, maka kapitalisme juga menemukan bentuk kecelakaanya dalam fasisme.

Ekspansi kapitalisme ke negara-negara dunia ketiga kemudian tidak saja menciptakan watak kapitalisme yang berbeda pada era pasca kolonial, tetapi juga melahirkan respon perlawanan yang tidak sepenuhnya Islam, tidak sepenuhnya Nasionalisme, dan dan tidak sepenuhnya Komunisme termasuk juga ide-ide perlawanan yang lahir dari tradisi mesianik dan melirianisme seperti yang terjadi dalam sejarah pemikiran dan gerakan politik di Indonesia. Yang pada intinya dunia ketiga – khususnya Indonesia - tidak saja diperkenalkan dengan cara produksi baru, tetapi juga mengalami internalisasi konflik internasional. Hal ini dapat kita lihat bagaimana perlawanan terhadap kapitalisme (kolonialisme) berbarengan dengan saling bertentanganya antar pengikut ideologi-ideologi yang melawan kapitalisme, bahkan dinternal sebuah ideologi. Dalam konteks keindonesian, bahkan ideologi menjadi sebuah kerja kebahasaan sebagai upaya membangun moment historis. Artinya dunia Barat kontemporer senantiasa melahirkan ideologi dalam determinisme ekonomi, sedangkan di dunia Timur, moralitas dan spiritualitas adalah pembentuk sikap sejarah dan sikap politik yang keduanya bisa kita sebut juga sebagai sikap ideologi.

H. Misbach misalnya. Dia berangkat ke dunia pergerakan karena diilhami ajaran Islam atau semangat jihad (Islamisme). Tetapi dalam memahami dunia dia menggunakan marxisme (komunisme), dan dalam konteks geo politik ia seorang nasionalis. (Nasionalisme), lihat saja dari organisasi yang diikutinya. Pertama ia mendirikan Sub Tentera Kandjeng Nabi Moehammad serta menerbitkan Medan Moeslimin dan Islam Bergerak. Tidak cukup dengan itu, ia kemudian menjadi propagandis untuk pengorganisiran petani bagi National Indische Partij-Sarekat Hindia (NIP-SH). Setelah keluar dari penjara ia bergabung dengan SI Merah/Sarekat Ra`jat-PKI. Dalam masa pembuangannya di Digul, ia menulis gagasannya tentang “Islamisme-Komunisme”. Fenomena Misbach ini seharusnya merontokan bahwa pergerakan politik Indonesia secara tegas dibagi menjadi Islamisme, Komunisme dan Nasionalisme seperti yang diajarkan sejarawan Belanda ataupun sejarawan yang mencangkok darinya, maka pilihan ideologi adalah pertemuan apa yang dirasakan dengan istilah atau bahasa yang kemudian dijadikan pembenaran.

Kembali ke kajian buku. Telah banyak buku dengan model bunga rampai yang mencoba mengulas ideologi. Meskipun sebuah buku telah mengulas perkembangan ideologi-ideologi dalam pengertian kontemporer seperti halnya dalam buku ini, akan tetapi dengan jika model bunga rampai maka ulasan menjadi tidak mencukup mendalam, mengingat juga belajar dari tulisan langsung para teoritikus ideologi telah menimbulkan penafsiran yang berbeda dan munculnya doktrin-doktrin baru. Sisi lain adalah berbagai kajian buku tentang ideologi khususnya yang bunga rampai, belum memunculkan gagasan-gagasan atau pemikiran yang disebut ideologi yang muncul di dunia ketiga

Ulasan tentang ideologi-ideologi kemudian menjadi sebuah “rumah-kaca” yang gagal memahami tentang bahwa para pelaku ideologi adalah orang yang sedang merespon dunia yang menurutnya bergerak dan diapun bergerak mempraktekan pergerakan dan dalam kenang-kenangan kita sekarang menjadi sebuah memori tentang sejarah pikiran yang bertindak.
Kegagalan atas pemahaman tersebut lahir dari historiografi - yang menurut Takashi Shiraishi (1997) - adalah historiografi ortodox yang merupakan historiografi cangkokan. Yang boleh kita sebut sebagai sejarah dari kinerja intelijen seperti yang secara romantis digambarkan Pramoedya Ananta Toer (1988) lewat Rumah Kaca.

Terakhir, buku ini bagus untuk kalangan yang ingin mengamati perkembangan ideologi, dari asal-usulnya hingga abad 21, namun secara sederhana saja.

Wednesday, December 06, 2006

Hak Legal Atas Land Reform: Kumpulan Berita


Politik & Hukum Jumat, 14 Juli 2006 Agraria
Tanah untuk Rakyat
B Josie Susilo Hardianto

Keterlaluan jika seekor tikus mati di lumbung padi yang penuh dengan gabah kering panen. Mati kekenyangan melahap gabah itu atau mati karena tidak mau memakan gabah tersebut. Kesimpulannya tetap sama, tak tahu diri. Kerakusan menyebabkan tikus itu mati, demikian juga kebodohan membuatnya binasa.

Meski nilainya lain, fakta kematian warga akibat busung lapar adalah peristiwa yang juga menyedihkan, memprihatinkan, dan menyakitkan.

Sebagai negara dengan tradisi agraris dan kelautan, justru para petani dan nelayan mereka hidup dalam impitan kemiskinan. Itu adalah fakta menyakitkan di negeri yang mengenal mitos Dewi Sri, personifikasi tanaman padi, simbolisasi kesejahteraan.
Subardi, petani asal Ciamis, Jawa Barat, dalam sebuah aksi di Bundaran Hotel Indonesia, Mei lalu, mengutarakan, banyak petani di desanya tidak lagi memiliki tanah. Mereka umumnya menjadi buruh tani.

Ketika panen mereka hanya memperoleh uang Rp 1.750 dari tiap kilogram gabah yang mereka jual. Padahal, pada saat yang sama, harga tiap kilogram pupuk urea telah mencapai Rp 2.000. Tidak mengherankan jika kemiskinan menjadi bagian hidup mereka dan persoalan kepemilikan tanah kembali menguat, gugatan petani tentang itu menjadi marak.

Apalagi ketika akses terhadap modal produksi itu makin menyempit. Satu peristiwa yang menarik perhatian adalah bentrok di antara petani Desa Tanak Awu, 30 kilometer arah timur Mataram, Lombok, minggu 18 September 2005.

Bentrokan itu menyebabkan 11 polisi dan 40 warga luka-luka. Tempat bentroknya adalah tempat pertemuan Serikat Tani sekaligus lokasi rencana pembangunan bandara internasional. Kontan insiden itu menarik perhatian.

Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaharuan Agraria Usep Setiawan pada 26 September 2005 di Kompas menulis bahwa bentrok itu adalah kado pahit di hari tani yang setiap tahun diperingati pada 24 September. Ia mengemukakan, tragedi itu merupakan isyarat represifnya Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Penolakan atas perpres itu bermunculan karena dinilai tidak berpihak kepada petani. Alasannya, aturan itu tidak mengakomodasi kepentingan rakyat. DPR pun memberi rekomendasi agar perpres itu ditunda dan direvisi.

Lalu, muncullah Perpres No 65/2006 yang adalah revisi dari Perpres No 36/2005. Namun, bagi para petani dan pemerhati hak asasi manusia, revisi itu isinya setali tiga uang. Sebagaimana pendahulunya, Perpres Nomor 65 Tahun 2006 tetap dianggap berpihak pada kepentingan kapital, khususnya dunia infrastruktur.

Koalisi lembaga swadaya masyarakat seperti YLBHI, PBHI, KPA, dan FSPI dengan tegas menolak perpres tersebut. Mereka, misalnya, menunjuk Pasal 13 dalam perpres itu sebagai salah satu contoh ketidakberpihakan pemerintah terhadap rakyat, khususnya petani. Pasal itu hanya menyatakan, untuk pelepasan tanah, ganti rugi yang diberikan bisa berupa uang, tanah pengganti, pemukiman kembali, dan atau gabungan dari itu atau bentuk ganti kerugian lain.

Padahal, harusnya penggantian kerugian mestinya menjamin mereka yang dirugikan untuk tidak mengalami penurunan kualitas hidup. Ganti kerugian itu mestinya juga mempertimbangkan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.

Pemerintah dianggap kurang peka terhadap tuntutan rakyat, khususnya petani, yang membutuhkan tanah. Koalisi LSM itu kemudian merujuk Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 yang dianggap lebih memberi tempat dan jaminan bagi petani.

Gunawan dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) mengemukakan, dalam UU Pokok Agraria itu hak petani untuk memperoleh dan memiliki tanah dijamin. Ada konsolidasi tanah yang kemudian menjadi subyek reforma agraria.

Dalam Pasal 11, misalnya, disebutkan jaminan perlindungan terhadap kepentingan golongan ekonomi lemah. Dalam Pasal 13 juga disebutkan bahwa pemerintah berusaha agar usaha-usaha dalam lapangan agraria diatur sedemikian rupa sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat. Dalam ayat berikutnya bahkan pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria dari organisasi dan perorangan yang bersifat monopoli swasta.

Gunawan mengungkapkan, UU Pokok Agraria itu memang memberi jaminan kepada rakyat kecil kepemilikan tanah dan mencegah munculnya tuan tanah. Namun, kelemahan dari UU Pokok Agraria adalah idiom- idiom sosialisme Indonesia yang tentu saja tidak lagi laku untuk saat ini. Namun, aturan itu, dalam banyak hal, tetap cocok untuk saat ini karena mampu meredam munculnya konflik agraria dan dapat menjadi dasar bagi strategi pembangunan ekonomi yang lebih luas.

Usep Setiawan mengatakan, Perpres Nomor 65/2006 jelas-jelas menjadi karpet merah bagi investor. Infrastructure Summit yang bakal diselenggarakan Oktober mendatang menjadi titik yang memang dituju pemerintah.

Hal senada dikatakan Henry Saragih dari Federasi Serikat Petani Indonesia. Perpres Nomor 65/2006 dilihat dalam posisi yang lebih memihak pemilik modal. Kebijakan itu dilihat sebagai komitmen pemerintah yang berencana menggelar Infrastructure Summit II. Pertemuan yang akan diikuti investor di bidang infrastruktur itu mengingatkan kembali Infrastructure Summit I, Januari 2005, saat pemerintah menjanjikan berbagai kebijakan yang mempermudah masuknya investasi ke Indonesia.
Saragih mengemukakan, dari Pasal 5 Perpres Nomor 65/2006 itu tampak bahwa semua proyek yang disebutkan dalam pasal itu adalah proyek-proyek dalam bidang infrastruktur.
Para aktivis itu mengaku tidak anti terhadap pembangunan, tetapi pembangunan tidak boleh begitu saja mengabaikan kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Patra Zen dari YLBHI mengatakan, pemindahan warga haruslah membuat warga itu menjadi lebih sejahtera. "Penggusuran atau pemindahan rakyat tak boleh menyebabkan mereka dipisah dari akses terhadap mata pencarian mereka. Pemindahan tidak boleh membuat mereka lebih menderita," katanya.

Tanah yang adalah modal dasar bagi rakyat menjadi makin penting, apalagi saat ini Indonesia tak mampu memenuhi sendiri kebutuhan pangan nasional. Tidak hanya itu. Pada sektor perkebunan pun petani Indonesia tertinggal dari Vietnam.

Keberpihakan kepada rakyat juga menjadi perhatian anggota Komisi II DPR, M Nazir Djamil (Fraksi PKS, NAD I). Ia mengatakan, umumnya apa yang disebut dengan pembangunan untuk kepentingan umum tetap berkorelasi dekat dengan kepentingan kapital.

Oleh karena itu, Djamil meminta agar peraturan tentang pertanahan dapat mengakomodasi itu. Mengutip keterangan Kepala BPN Joyo Winoto, Nazir Djamil mengatakan, revisi Perpres Nomor 65/2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum harus lebih baik dari perpres sebelumnya.

Dalam pertemuan antara Komisi II dan BPN, Januari lalu, disebutkan, revisi terbatas yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjamin kepastian hukum dan hak rakyat atas tanah, tersedianya tanah bagi kepentingan umum, serta terhindarnya warga dari spekulan tanah.

Namun, menurut Nazir, yang jauh lebih penting adalah pembangunan yang dilakukan itu harus sesuai dengan tata ruang wilayah. Selama ini masyarakat tak tahu tata ruang wilayahnya. Padahal, harusnya rakyat bukan cuma tahu tentang tata ruang wilayah, tetapi juga terlibat saat penyusunannya sehingga rakyat tidak selalu dirugikan.

Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS


Politik & Hukum Kamis, 03 Agustus 2006 Kemiskinan
Memanggil Kembali Tindakan Negara
B Josie Susilo Hardianto

Dua lembar uang seribuan itu terus dibalik-baliknya. Uang yang sudah lusuh itu menjadi makin lusuh. Meskipun menceritakan kisahnya dengan senyum, Yuli tetap saja tidak mampu menyembunyikan galaunya.

Yuli adalah pemulung yang kemudian membuka warung rokok. Ia tinggal di tanah milik PJKA di kawasan Kebon Melati sejak tahun 1981. Ia tak memiliki surat-surat apa pun sebagai bukti ia sah secara hukum tinggal di kawasan itu.

Saat ditemui Kompas, ia menceriterakan cucunya yang terpaksa pulang sekolah tanpa alas kaki. Sepatunya disita karena warnanya tidak sesuai dengan peraturan sekolah. "Mestinya sepatu berwarna hitam, tetapi sepatu yang saya belikan memang hitam, tetapi ada garis-garisnya berwarna putih," tutur Yuli.

Sambil melayani beberapa pembeli yang datang, ia menceritakan perihal cucu sulungnya yang lulus SMEA, yang hingga saat ini belum memperoleh pekerjaan. "Sempat juga bekerja kontrak di restoran Jepang, tetapi sekarang sudah keluar dan belum ada pekerjaan lagi," ungkap Yuli.

Tentu peristiwa itu merisaukan hatinya. Dengan untung sekitar Rp 25.000 per hari, Yuli harus ikut membiayai kehidupan dan sekolah cucunya. Tiga anaknya hanyalah pekerja kecil dengan gaji harian yang tentu sedikit jumlahnya. "Padahal, biaya sekolah sekarang ini mahal. Memang yang SMP mulai gratis, tetapi harga buku dan yang lain-lain kan makin mahal," tuturnya.

Beberapa waktu lalu pihak Kecamatan Tanah Abang sudah menanyakan status warung tempel yang dikelolanya. Lalu, rumah kardus yang kini telah dibangunnya menjadi lebih permanen bakal tergusur karena menempati tanah milik PJKA yang berencana akan membuat jalur lintasan baru.

"Memang sejak saya tinggal di Kebon Melati tahun 1981 hingga sekarang saya tidak punya surat. Sama seperti milik bos saya yang juga tidak ada suratnya," tutur Yuli.

Jika ada persoalan dengan aparat, tutur Yuli, entah dari kecamatan atau dari instansi lain yang mempertanyakan tentang status tanah atau yang lainnya, bos penerima barang bekas itulah yang akan menangani. Persoalan seperti itu seolah sudah hal lumrah bagi warga miskin.

Seolah memang seperti itulah mereka harus hidup. Sejak suaminya meninggal karena penyakit paru-paru tahun 1981, Yuli harus menjadi pemulung untuk menghidupi tiga anaknya. Sehari-hari mereka harus tinggal berpindah-pindah dari satu proyek ke proyek lainnya. Kembali ke Purworejo bukanlah pilihan, sebab tidak ada lagi sawah yang terpaksa dijual untuk mengobati sang suami.
Saat ini, ketika ia sudah tidak lagi menjadi pemulung, ternyata hidup pun tidak menjadi lebih mudah. Yuli bersyukur.

Baginya, itu jauh lebih baik daripada dua keluarga yang tinggal di seberang warungnya. Dua keluarga itu tinggal di gubuk tripleks di bawah saluran pipa yang melintas di atas kali Pejompongan. Untuk menghidupi diri, keluarga itu menjaring botol bekas air mineral yang terbawa aliran sungai.

Melihat mereka memandikan anak-anak mereka dengan air sungai Pejompongan yang keruh dan berbau busuk itu dan kemudian membiarkan anak kecil itu mengemis di perempatan di depan kompleks Pemakaman Karet, Pejompongan sebenarnya bukanlah hal yang benar. Namun, jika tidak demikian, siapa yang akan menghidupi mereka.

Memprihatinkan! Bagi mereka, standar jaminan hidup yang sepantasnya tidak pernah dinikmati. Tidak ada tempat tinggal, tanah produksi, air bersih, pekerjaan, pendidikan, dan kesehatan.

Ironis

Kondisi hidup yang dialami Yuli dan kedua tetangganya itu, juga sebagian warga Indonesia lain, menjadi sebuah ironi. Ironi, di satu sisi Indonesia adalah anggota Dewan Hak Asasi Manusia di PBB dan juga turut meratifikasi Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, namun di sisi lain sebagian warganya tidak memperoleh jaminan hidup dasar yang memadai.

Busung lapar, penggusuran, pengangguran, putus sekolah, hancurnya ekosistem, lemahnya daya saing petani, dan makin terbatasnya akses mereka terhadap tanah seolah menjadi titik penegas persoalan bahwa pemenuhan hak dasar manusia di Indonesia lemah.
Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia dalam kertas posisinya menyebutkan, kemiskinan yang melilit sebagian besar penduduk Indonesia sebenarnya semakin mempertinggi tingkat kerentanan dari berbagai ancaman bahaya. Upaya mempertahankan hidup tanpa difasilitasi negara memaksa masyarakat memanfaatkan sumber daya alam di sekitarnya.

Di banyak tempat, posisi seperti itu di kemudian hari memunculkan konflik yang menempatkan rakyat berhadap-hadapan dengan negara. Fakta penggusuran, misalnya, memosisikan warga yang menempati bantaran sungai, tanah negara, atau kawasan kosong di sisi kiri dan kanan jalur lintasan kereta api, bahkan di lembah perbukitan dan hutan, pada posisi lemah ketika berhadapan dengan negara.

Padahal, kehadiran mereka di kawasan itu menjadi bentuk lain lemahnya negara dalam mengelola kawasan. Dalam wilayah legal formal pun ternyata pemerintah dilihat kurang berpihak pada masyarakat. Salah satunya adalah program dari Bank Dunia, seperti Water Resources Sector Adjusment Loan, yang kemudian melahirkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
Privatisasi sumber daya air menyebabkan rakyat tidak dengan mudah memperoleh air. Air bersih di perkotaan harus dibeli dengan harga yang cukup mahal, namun sering kali tidak dibarengi dengan ketersediaan yang memadai.

Bagi rakyat kecil seperti Yuli, air akhirnya menjadi sesuatu yang sungguh mahal. Buktinya, untuk mandi saja mereka harus sudi membersihkan tubuh mereka dengan air yang tidak bersih. Ironis.

Hak atas pangan

Selain itu, posisi tempat mereka tinggal, di bantaran sungai, adalah posisi yang rentan. Dari sisi mana pun posisi mereka lemah, tetapi mereka tidak memiliki lahan untuk berusaha. Padahal, salah satu kunci terpenuhinya hak atas pangan adalah akses terhadap tanah produksi.

Posisi warga, seperti Yuli, pasti akan sangat lemah karena ia tidak memiliki bukti legal apa pun atas tanah yang ditempatinya. Ia menempati tanah milik PJKA. Berhadapan dengan persoalan seperti itu, Yuli tidak memiliki kekuatan apa pun kecuali sikap baik dari majikannya yang mungkin akan bermain mata dengan aparat agar rumah Yuli tidak digusur.

Seperti yang ia lakukan saat ini. Ia memang akan bertahan, namun itu tidak akan memberi jaminan mencukupi bagi anak-anaknya kelak. Gunawan dari PBHI mengungkapkan, General Comment 12 yang merupakan interpretasi otoritatif Komite Ekonomi, Sosial, dan Budaya mengenai hak atas pangan menyatakan secara jelas bahwa hak atas pangan memerlukan akses fisik dan ekonomi atas sumber daya.

Dengan argumentasi seperti itu, Gunawan mengatakan, akses atas pangan mengandaikan juga akses atas pendapatan, seperti akses atas sumber daya produktif, yaitu tanah. Namun, ketidakmampuan pemerintah mengelola tata ruang wilayah dan jaminan pada akses sumber daya produksi membuat akses yang tadi disebutkan makin lemah.

Gunawan melihat posisi Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 sebenarnya memberi jaminan akses rakyat pada tanah. Setiap rakyat dalam undang-undang itu memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh suatu hak atas tanah serta manfaatnya.

Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Herry Priyono, mengatakan, ada paradoks dalam perjuangan hak asasi manusia. Dalam perjuangan hak sipil dan politik negara sedapat mungkin tidak campur tangan. Namun, dalam perjuangan hak ekonomi sosial dan budaya, peran negara justru dibutuhkan. "Ini adalah masalah sentral dan mendasar," tutur Herry.

Dalam tataran empiris, tutur Herry, sebenarnya pemenuhan sandang, papan, dan pangan ada di dalam wilayah kekuasaan negara. Namun, nyatanya sandang, papan, dan pangan masuk dalam hukum pasar. Neoliberalisme bahkan coba menyingkirkan peran negara dari pemenuhan sandang, papan, dan pangan itu dan betul-betul menyerahkannya pada pasar. Akibatnya, kontrol pemerintah menjadi lemah karena semua tergantung pada kinerja pasar bebas.

Untuk mengembalikan kemampuan negara tentu jalan yang dapat ditempuh adalah meningkatkan kemampuan keuangan negara. Konsekuensi dari pilihan itu adalah pajak menjadi tinggi. Ini pilihan buruk.

Menurut Herry, langkah yang lebih baik adalah mendorong munculnya cooperation social responsibility. Harus diakui bahwa negara tidak ada pada posisi kontrol yang kuat atas kinerja pasar. Namun, negara dengan kewenangan regulasinya dapat mendorong kalangan bisnis dan kekuatan masyarakat madani untuk meningkatkan jaminan atas hak ekonomi, sosial, dan budaya.

Posisi seperti ini adalah posisi di mana negara dipanggil kembali untuk bertindak. Menggunakan kewenangan dan kemampuan mereka ketika banyak persoalan justru ada di luar kemampuan negara.

Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS

Politik & Hukum
Senin, 30 Oktober 2006

Redistribusi Lahan agar Dilakukan di Jawa

Jakarta, Kompas - Aktivis pembela hak asasi manusia dari Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia, Gunawan, mengutarakan, jika pemerintah hendak melakukan redistribusi lahan, hal itu sebaiknya dilakukan di Jawa.

Menjadi tidak efektif jika obyek pembagian lahan itu ada di luar Jawa. Alasannya, tutur Gunawan, sebagian besar petani miskin dan buruh tani berada di Jawa.

Selain itu, tutur Gunawan saat dihubungi Minggu (29/10), gagasan pemerintah untuk menggelar infrastucture summit November mendatang juga tidak banyak membantu dalam proses penguatan kedaulatan pangan.

Selain tidak menjamin mendatangkan investasi, munculnya investasi di bidang infrastruktur justru memunculkan konflik. ”Infrastucture summit sebelumnya memunculkan investasi pada sektor air, namun swastanisasi itu tidak menjamin pasokan air bersih lancar bahkan harga air menjadi makin mahal,” ungkap Gunawan. (JOS)

Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS


Senin, 18 Desember 2006
Pertanahan
Pembaruan Agraria Tak Hanya Membagi Tanah

Jakarta, Kompas - Pembaruan agraria tak sekadar membagi-bagi tanah. Pembaruan agraria yang bertujuan untuk memperkuat dan menyejahterakan rakyat itu mensyaratkan kemudahan bagi petani untuk mengakses kredit dari bank, informasi, teknologi, dan pasar.
Hal itu dikatakan Gunawan dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Jumat (15/12) di Jakarta. Selama ini, menurut Gunawan, karena kemampuannya yang terbatas, petani sulit memperoleh kredit dari bank. Kondisi itu justru dimanfaatkan rentenir yang lebih banyak menyengsarakan petani daripada membantu mereka. Tidak hanya itu, sering kali petani terjerat perangkap tengkulak sehingga mereka tidak mampu meningkatkan kemampuan modal yang berdampak pada kinerja sektor pertanian di Indonesia.

Untuk itu, kata Gunawan, pembaruan agraria yang diawali dengan pembagian tanah juga harus disertai dengan kemudahan bagi petani untuk mengakses modal pendukung pada sektor tersebut. Kemudahan itu dilakukan untuk meningkatkan kekuatan dan kinerja petani.

Kelengkapan dan kemudahan akses terhadap modal, menurut Gunawan, akan memberi dampak pada kinerja dan produksi petani. Apalagi dalam konteks ketahanan pangan, yang diukur bukan hanya jumlah ketersediaan beras. "Tetapi juga kemampuan petani menghidupi dirinya sendiri. Sebab, keuntungan yang dinikmati petani akan berdampak lanjut pada semua warga masyarakat," tutur Gunawan.

Belajar mandiri

Dihubungi terpisah, aktivis petani dari Organisasi Tani Jawa Tengah, Wahyudi, membenarkan hal itu. Ia mencontohkan, saat ini untuk menyiasati mahalnya harga pupuk, sebagian petani di Batang, Jawa Tengah, bereksperimen membuat pupuk organik sendiri.
Bahkan, mereka mengumpulkan uang untuk menguji kandungan pupuk organik yang mereka buat. Mereka pun mendapat bantuan tenaga dari Pemerintah Daerah Kendal, Jawa Tengah.

Langkah tersebut diambil, tutur Wahyudi, ketika petani sulit memperoleh kredit dari bank. "Umumnya, petani di desa hanya memiliki lahan kecil. Dengan kondisi seperti itu, bank tidak berani memberi modal yang cukup besar. Akibatnya, petani tidak mampu mengelola lahannya," kata Wahyudi.

Dengan membuat pupuk organik sendiri, petani dapat menghemat sebagian modal mereka sehingga kinerja mereka dapat diintensifkan. Bahkan, mereka pun berupaya memproduksi bibit sendiri sehingga pengeluaran dapat semakin ditekan. (JOS)


Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS

Pembagian Lahan agar Hati-hati, Ada yang Dijual atau Digadaikan

Jakarta, Kompas - Pembagian 8,15 juta hektar lahan kepada masyarakat miskin dan pengusaha dengan ketentuan terbatas yang merupakan bagian dari reformasi agraria harus diiringi dengan pemberdayaan penerimanya. Hal itu perlu agar program dapat berfungsi maksimal dalam meningkatkan kesejahteraan penerima.

"Redistribusi 1,15 juta hektar tanah beberapa waktu lalu ternyata tidak semuanya dapat menyejahterakan rakyat miskin penerimanya. Sebab, sebagian tanah ada yang dijual, digadaikan, atau diijonkan penerimanya," kata Kepala Badan Pertanahan Nasional Joyo Winoto dalam dengar pendapat dengan Komisi II DPR di Jakarta, Senin (29/1).

Berdasarkan catatan Kompas, pembagian 8,15 juta hektar lahan ini akan dilakukan pemerintah tahun 2007 hingga 2014. Diperkirakan, 6 juta hektar lahan akan dibagikan pada masyarakat miskin. Sisanya 2,15 juta hektar diberikan kepada pengusaha untuk usaha produktif yang melibatkan petani perkebunan. Tanah yang di bagian ini tersebar di Indonesia, dengan prioritas di Pulau Jawa, Sumatera, dan Sulawesi Selatan. Tanah itu berasal dari lahan kritis, hutan produksi konversi, tanah telantar, tanah milik negara yang hak guna usahanya habis, maupun tanah bekas swapraja.

Dalam kesimpulannya, Komisi II yang dipimpin ketuanya EE Mangindaan meminta adanya perencanaan matang dalam pembagian lahan tersebut. Program ini diharapkan juga benar-benar untuk rakyat, bukan bagian dari propaganda pemerintah.

Joyo menuturkan, BPN sedang menyusun cara pembagian tanah berikut kemungkinan program pemberdayaan masyarakat untuk mengiringinya. Dengan demikian, diharapkan program ini dapat efektif mengatasi ketimpangan pemilikan tanah dan mengentaskan kemiskinan.

Pembagian lahan itu, lanjut Joyo, diharapkan dapat menyelesaikan sejumlah kasus sengketa pertanahan yang sekarang mencapai 1.800 kasus. Sengketa yang umumnya terjadi sejak tahun 1970-1980 ini, sebagian disebabkan adanya surat tanah palsu seperti girik.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria Usep Setiawan menuturkan, pemberdayaan masyarakat untuk mengiringi pembagian lahan itu dapat dilakukan lewat serikat atau organisasi petani. Namun, organisasi itu harus dibentuk dari bawah, seperti Serikat Petani Pasundan di Priangan Timur (Jawa Barat), Organisasi Tani Jawa Tengah di Jawa Tengah, dan Ikatan Petani Lampung di Lampung.

Keberadaan organisasi petani ini, lanjut Usep, tidak hanya akan mengontrol penggunaan lahan yang dibagikan petani, tetapi juga berbagai aktivitas lain, seperti pembuatan koperasi atau tempat pendidikan untuk petani

Kepala Divisi Kajian dan Kampanye, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia, Gunawan mengatakan, kekerasan yang dilakukan aparat keamanan
dalam menyelesaikan sengketa tanah dapat menghambat program pembaruan agraria yang akan dilaksanakan pemerintah. (mzw/nwo)

Senin, 11 Juni 2007
Agraria

Pembaruan Agraria Harus Selesaikan Konflik Pertanahan

Jakarta, Kompas - Program Pembaruan Agraria Nasional atau PPAN yang dicanangkan pemerintah sejak tahun 2006 harus segera dilaksanakan sebagai bagian dari penyelesaian atas berbagai konflik dan sengketa pertanahan yang terjadi. Semakin lama program itu ditunda pelaksanaannya, akan semakin banyak konflik pertanahan yang terjadi.

Kepala Divisi Kajian dan Kampanye Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia Gunawan di Jakarta, Jumat (8/6), mendesak pemerintah untuk segera melaksanakan tahap-tahap pelaksanaan program pembaruan agraria. Tahap awal yang dapat dilakukan pemerintah adalah pendataan administratif seluruh tanah yang ada di Indonesia dan membuat rencana umum peruntukan tanah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.

Bersamaan dengan itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) perlu mengambil langkah terobosan untuk menghentikan konflik pertanahan yang terjadi. Langkah yang dapat diambil adalah menghentikan segala bentuk penggusuran dalam sengketa pertanahan dan mencegah pengkriminalisasian warga yang menuntut hak atas tanah.

"Dengan demikian PPAN tidak hanya sekadar distribusi tanah, tetapi juga penyelesaian atas berbagai konflik pertanahan yang terjadi," kata Gunawan.

Secara terpisah, Kepala Program Kajian Agraria Institut Pertanian Bogor Satyawan Sunito mengatakan, presiden harus tegas dalam melaksanakan PPAN. Sosialisasi pelaksanaan program tersebut harus dilakukan secara intensif kepada masyarakat dan juga pengusaha yang akan terkena dampak langsung dari program itu. (MZW)

Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS

Rabu, 13 Juni 2007
Pertanahan
Pemerintah Didesak Selesaikan Konflik Agraria

Jakarta, Kompas - Untuk mengantisipasi munculnya pertikaian antara warga dan negara dalam persoalan lahan, pemerintah didesak menyelesaikan berbagai konflik agraria yang masih ada. Langkah itu dinilai tepat untuk menghindari meluasnya konflik agraria yang selalu menempatkan rakyat sebagai korban.

Proses sengketa sering kali menempatkan rakyat sebagai kriminal karena tuntutan mereka atas lahan yang tengah disengketakan. Persoalan itu bahkan kerap berbuntut pada kematian, seperti yang terjadi di Alas Tlogo, Lekok, Pasuruan, Jawa Timur.

Deputi Pengkajian Kebijakan dan Kampanye Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) Achmad Ya’kub dalam sebuah pertemuan yang digelar hari Selasa (12/6) di Jakarta mengatakan, setidaknya ada 2.810 data tentang konflik agraria tercatat di Badan Pertanahan Nasional (BPN). Konflik itu hingga saat ini, tutur Achmad, belum diselesaikan.

Menurut Achmad, jika konflik itu tidak segera diselesaikan, reforma agraria yang tengah digagas pemerintah tidak akan membuahkan hasil optimal. Dalam proses itu, seharusnya, justru penyelesaian konflik agraria merupakan prioritas sehingga warga memperoleh kepastian atas lahan yang telah mereka kelola.

Dalam kesempatan itu hadir Rohman, Suhaya, dan Suhaimin, tiga wakil warga Kampung Legon Pakis, Desa Ujung Jaya, Serang, Banten. Desa mereka berada di dalam kawasan Taman Nasional Ujung Kulon. Saat ini mereka bersengketa dengan pihak Taman Nasional Ujung Kulon. Mereka enggan dipindahkan ke Kampung Pamatang Laja karena di tempat itu tidak ada lahan persawahan. Suhaya menceritakan, akibat penolakan itu, warga merasa diteror. "Sekolah ditutup, listrik swadaya juga tidak diperbolehkan," tutur Suhaya.

Mereka sering dituduh merambah hutan jika diketahui masuk ke kawasan hutan. Bahkan, pada November lalu, seorang warga Kampung Cikawung Girang, Desa Ujung Jaya, Komar (48), ditemukan tewas karena ditembak karena dituduh mencuri kayu. "Namun, saat jenazahnya ditemukan, polisi tidak menemukan kapak atau gergaji. Bahkan dalam radius satu kilometer tidak ditemukan ada pohon yang ditebang," ungkap Gunawan dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia. (JOS)

Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS

Ketahanan Pangan Butuh Kebijakan Berbasis Petani
Tanggal: 19 Oct 2007
Sumber: Kompas

Prakarsa Rakyat,

Jakarta, Kompas - Kebijakan pemerintah untuk membagikan lahan bagi petani akan menjadi optimal jika dibarengi dengan kebijakan lain yang juga melindungi petani. Kebijakan itu, antara lain, kemudahan memperoleh kredit, pengembangan infrastruktur pertanian di pedesaan, perlindungan pasar bagi petani, serta pembatasan pada pengembangan perkebunan dan pertambangan besar.

Selain itu, rencana pembagian lahan satu juta hektar bagi petani juga dilakukan dengan orientasi yang jelas agar tidak jatuh pada politisasi. "Strateginya adalah tak menempatkan reforma agraria sebagai reforma agraria saja," kata komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Johny Nelson Simanjuntak, Rabu (17/10) di Jakarta.

Petani, tutur Johny, seharusnya diberi kemudahan untuk mengakses kredit, infrastruktur, dan pasar.

Tak hanya itu, menurut Manajer Program Indonesian Human Rights Committee for Social Justice, Gunawan, kebijakan itu juga harus didukung dengan kebijakan untuk tidak dengan mudah membuka impor beras dan penggunaan benih transgenik.

Menurut Gunawan, liberalisasi pangan hanya akan menguntungkan investor di bidang pertanian. Mereka cenderung untuk mengejar hasil saja.

"Proses produksi dipercepat dari enam bulan menjadi tiga bulan. Jagung yang semula hanya satu tongkol per batang menjadi tiga tongkol per batang. Untuk itu, diperlukan pupuk buatan yang ujungnya menyebabkan tanah tak lagi mudah dikelola dengan pupuk organik," tuturnya.
Akibatnya, ketergantungan petani pada benih transgenik dan pupuk industri makin tinggi. Bagi Gunawan, pemenuhan pangan tidak bisa dilakukan dengan membuat kebijakan instan seperti itu. Di sisi lain, kebijakan yang lebih berpihak pada optimalisasi kemandirian petani cenderung diabaikan.

Petani mengontrol

Pemerintah, lanjutnya, harus mulai mengubah cara pandang dari pertanian intensif menjadi pertanian yang berbasis pada keluarga. Sebagaimana dikemukakan Johny, praksis dari kebijakan itu juga sampai pada perlindungan pasar bagi petani.

"Tidak bisa begitu saja diserahkan kepada mekanisme pasar, apalagi ini terkait dengan hak ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat yang prinsipnya justru mengundang keterlibatan pemerintah," ingat Gunawan.

Hanya dengan upaya yang komprehensif seperti itu, ketahanan dan kedaulatan pangan dapat diraih karena petani dilibatkan mulai dari proses tanam hingga distribusi hasil pertanian mereka. (jos)